Yup! Harta paling berharga itu adalah keluarga. Apalagi mereka masih utuh dan ada. Selamat ulang tahun Robby.
Pasang & Surut
Minggu, 23 Oktober 2016
Jumat, 07 Oktober 2016
My King (2015)
imdb.com |
Umumnya istri mengharapkan tiga
hal ini kepada suaminya. Pertama, setia
kepadanya. Kedua, memenuhi kebutuhan
ekonominya. Ketiga, selalu memiliki
waktu bersamanya. Apabila ketiga hal tadi tidak terpenuhi atau kurang salah
satu niscaya rumah tangga riskan goyah.
Tony (Emmanuelle Bercot) mengalami kecelakaan saat berseluncur di bukit es yang membuatnya harus menjalani
rehabilitasi di rumah sakit khusus penangan tulang. Selama rehabilitasi tersebut
dia merenung kembali awal dan akhir hubungannya dengan Giorgio (Vincent Cassel): bagaimana permulaan dia jatuh
cinta, memutuskan memiliki anak dan menikah, hingga hadirnya berbagai konflik
yang memaksanya memilih jalan berpisah.
Plot yang demikian di atas sebetulnya telah umum diangkat ke sebuah film (bukan hal baru). Akan tetapi baru kali ini
saya melihat─berkat performa jajaran aktor dan aktrisnya─antara penonton dan
tokoh-tokoh di dalam film itu seakan tidak berjarak. Emmanuelle Bercot dan Vincent
Cassel berhasil menghadirkan chemistry
yang membuat saya merasa they are truly
couple. Sama sekali tidak terlihat bahwa itu akting, including sexual scenes.
rottentomatoes.com |
Keberhasilan para aktor dan
aktris tersebut tidak terlepas dari naskah apik garapan Etienne Comar dan
Maiwenn. Sepanjang 120 menit kita akan menemukan dialog-dialog yang segar,
cerdas, dan penuh humoris. Salah satu favorit saya saat Tony menginginkan
hubungan yang statis bukan fluktuatif
dengan menggerakan tangannya secara horisontal kepada Giorgio. Dan tahu
apa yang dijawab Giorgio, “Seperti elektrokardiogram, hah? Kalau kita lurus
saja itu berarti kita mati.” Wow!
Selain itu, film ini juga menyuguhkan banyak gambar yang bagus sebagai bukti keseriusan sang sutradara, Maiwenn.
Ada satu adegan Tony dan Giorgio menggendong buah hati mereka untuk pertama
kali pasca persalinan. Terus terang saja dalam adegan tersebut saya terkesima,
bagaimana mungkin Maiwenn bisa mendapatkan ekpresi sang bayi yang masih kagok
melihat ayah dan ibunya. Really, that scene make me want kids.
fmovies.to |
Terlepas dari ending-nya yang kurang memuaskan (menimbulkan
multitafsir: apakah mereka rujuk kembali atau tidak?), saya memberi bintang
lima (sempurna) kepada film ini. Bukan disebabkan saya pencinta drama, melainkan film ini
telah memenuhi semua indikator penilaian. Bahkan, keselarasan naskah dengan
implementasi akting dari aktor dan aktrisnya menjadi nilai tambah. Sehabis menyaksikan
My King (2015) saya menjadi berpikir, apakah mungkin aktor dan aktris Indonesia
mampu membangun chemistry layaknya
Bercot dan Cassel dalam kultur negara yang menjunjung nilai-nilai kesopanan? Mungkin
sulit, tapi bukan mustahil.
My King (2015) dapat ditonton streaming di sini.
Kamis, 07 Juli 2016
[Buku] Big Breasts and Wide Hips
Ini karya Mo Yan pertama yang saya baca. Awalnya cukup menjemukan karena ceritanya diulang-ulang. Namun, setelah memasuki halaman ke-150, buku ini mulai menunjukkan daya magisnya. Saya terpikat dengan tokoh Shangguan Lu, seorang ibu yang berjuang menghidupi kedelapan anaknya dalam pasang surut kehidupan. Bila kalian ingin menyelami pikiran perempuan, atau ingin memperbaiki prilaku buruk kalian selama ini terhadap mereka, buku ini acuan tepat.
[Buku] Dataran Tortilla
Grapes of Wrath (Amarah) adalah salah satu karya termahsyur John Steinbeck. Dalam karya ini Steinbeck menuangkan segala uneknya perihal krisis kemanusian di Amerika saat itu. Tak heran Pram akhirnya begitu menggilai
Steinbeck, karena sejalan dengan cita-cita humanisnya di Indonesia.
Sewaktu
melihat Dataran Tortilla, karya lain dari Steinbeck, di sebuah toko
buku, saya pikir ceritanya bakal sama dengan karya sebelum-sebelumnya.
Ternyata tidak, karya satu ini jauh berbeda. Dataran Tortilla adalah
semacam sisi lain dari Steinbeck yang
memiliki selera humor. Tiap babnya kita dibuat ketawa. Bila kalian
sedang berduka, sedih, patah hati atau lainnya, buku ini ramuan mujarab
untuk menghibur.
Selasa, 21 Juni 2016
[Film Bioskop] Conjuring 2
Ini sekian kalinya saya ke
bioskop sendiri. Ada enaknya ada tidaknya. Enaknya, motor saya terasa ringan
karena tidak membawa penumpang. Haha. Sedang tidak enaknya: semua harus dilakukan sendiri. Ya iyalah...
Ah ya, hari ini sebetulnya bukan
jadwal saya nonton. Saya biasanya nonton pada Senin. Selain harga tiketnya
murah, Senin adalah hari baik buat bersenang-senang. Tapi… (perlu penekanan)…
berhubung Senin kemarin antriannya panjang karena semua orang ingin nonton Conjuring 2, sedang saya enggan mengantri,
karena saya bukan pengantri Conjuring 2
melainkan film lain, saya putuskan pulang dan kembali lagi esok. Benar saja saat
saya datang hari ini, Selasa, Bioskop Blitz sepi. Mungkin disebabkan harga
tiketnya kembali normal sehingga banyak orang berpikir dua kali ke bioskop.
Saya merapat ke teller tiket (tanpa
perlu mengantri, karena memang sepi) dan memilih Conjuring 2. Kenapa film ini juga akhirnya? Karena film sebelumnya yang
hendak saya tonton One Way Trip tidak
diputar lagi. Nasib! Saya mengambil waktu putar pukul 13.45. Ternyata masih banyak kursi kosong. Saya memilih kursi kanan atas.
Dalam studio yang penontonnya
tidak seberapa, saya sempat mencoba empat-lima kursi kosong untuk mendapatkan spot terbaik. Mulai dari atas ke bawah. Hingga kanan ke kiri. Akhirnya saya memutuskan duduk di deretan kursi tengah paling kanan. Kenapa memilih ini? Pertama, deretan kursi ini sepi. Sama
sekali tidak ada orang di samping kanan-kiri saya. Sehingga bisa terhindar dari
jeritan penonton yang ketakutan karena film ini (denger-denger banyak orang yang menjerit-jerit). Kedua, kepalang datangnya sendiri, yaaa nontonnya harus sendiri.
Film pun dimulai. Saya seketika
geleng-geleng kepala. Kok pembukaan filmnya serupa pembukaan Furious 7? Di mana kamera bergerak zoom out dari jendela. Ini sang
sutradaranya, James Wan, tidak kreatif atau ingin menciptakan ciri khas? Saya
tak tahu! Saya berusaha melupakan pembukaan yang kurang nendang ini dan mencoba
menikmati lagi. Syukurlah, ternyata dua puluh menit awal filmnya berjalan
mulus. Misteri mulai hadir di sana-sini. Sedang, adegan nakut-nakutinya
belum.
Barulah memasuki dua puluh menit
kedua adegan-adegan supranatural muncul. Mulai dari kursi yang bergerak
sendiri, program tv yang berpindah sendiri, hingga dipan yang
berguncang-guncang seakan gempa 8,3 skalarichter. Yang paling menakutkan
si roh jahatnya mulai tampak dengan rupa yang… kau tahulah tidak
mungkin secantik bidadari.
Tapi sebelum saya lanjutkan
bagaimana dua puluh menit ketiga, ada beberapa catatan terhadap dua puluh menit
kedua ini. Pertama, saya
tidak mendapat pengetahuan alasan roh jahat ini mulai mengganggu pemilik rumah.
Sekedar scene: Si Janet memainkan ouija dan sejak itu muncul hal-hal aneh
di rumahnya. Pertanyaannya, kenapa si roh jahat ini baru beraksi setelah Janet
memainkan ouija? Ada apa dengan
hari-hari sebelumya? Apakah dia tidur? Lantas, kenapa ketika ditanya duo Waren
tentang alasan mengganggu Janet, si roh jahat ini malah menjawab: karena ini
rumah milikku. Sungguh nggak koheren! Kedua,
itu dinding rumah yang catnya terkelupas mengerikan begitu kok bisa tidak diperbaiki
si pemiliknya ya... Sudah miskin kali apa? Tapi kayaknya nggak deh soalnya mereka bisa beli
pohon natal.
Baik, kita lanjutkan dua puluh
menit ketiga. Nah, menit-menit ini saya mulai mendengar jeritan-jeritan penonton. Kebanyakan adalah
perempuan. Soalnya, si roh jahat ini kian menggila. Dia sudah menerbangkan piring-piring,
pisau, dan alat dapur lainnya, termasuk Janet. Apalagi didukung backsoundnya
yang cemerlang.
Bagian yang dapat membuat
penonton menjerit-jerit ini terus berlangsung hingga dua puluh menit
keempat dan kelima. Saya tidak habis pikir, kok bisa sih mereka menjerit
sedemikian itu? Ini kan film? Duh-duh, kayaknya betul, ketakutan terhadap
hantu itu kadang mematikan akal.
Menjelang dua puluh menit berakhirnya film, jeritan penonton mereda. Karena film mulai memasuki penyelesaian konflik. Sekali lagi, saya dibuat geleng-geleng kepala. Soalnya, kekuatan-kekuatan
yang diperlihatkan para roh jahat selama 60 menit tadi, tidak sebanding dengan
cara berakhirnya. Cara berakhir roh jahat ini tampak sederhana, dengan menyebut nama: Valak! Tiba-tiba selesai. Loh!
Tapi tak apalah! Secara keseluruhan
film ini lumayan menghibur. Masih lebih layak ketimbang film horor nasional yang belum
jua move-up.
Kalau ingin baca review lebih bagusnya, baca blog ini saja. Penulisnya sangat kapabel. Bye!
Menuju Blitz Dengan Menyusuri Selokan Mataram |
Pakai Lift dan Eskalator? Ordinary bro. Tangga Darurat! 4 Lantai (Sambil Usap Peluh) |
Candid Sedikit! Hehe |
Minggu, 12 Juni 2016
[CERBER] DUNIA FIKSI 3
KELANJUTAN DF2...
Sally bersiap-siap pulang. Sebelum
itu, dia menyambangi ruang Ibu Suwarti sebagaimana diminta beliau waktu meeting. Diketuknya pintu ruang bosnya itu
tiga kali, lalu masuk.
“Sally,” sapa Ibu Suwarti, semringah.
“Mari duduk!”
Sally menuju kursi yang berhadapan ke
meja beliau. Tapi, dengan tangkas Ibu Suwarti membawanya ke sofa. “Kita ngobrol
di sini saja. Lebih enak.”
Ibu Suwarti merapatkan dirinya ke
Sally. “Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu. Tapi sebelum itu, apakah kamu
orang yang bisa dipercaya?”
Sally mendehem sejenak. “Aku tidak
berani mengaku sebagai orang yang bisa dipercaya. Tapi sejauh ini, aku tidak
pernah membocorkan rahasia perusahaan kepada siapa pun.”
Ibu Suwarti tertawa. “Aku suka
jawabanmu. Baiklah, ini perihal sekretarisku, Agus. Apa dia pernah mengutarakan
kepadamu bahwa dia ingin keluar dari perusahaan ini?”
Sally memikirkan jawaban tepat. Dia
tidak mau gegabah menjawab pertanyaan Ibu Suwarti. Bisa jadi, pertanyaan tadi
memiliki maksud tertentu. “Agus orang tertutup,” kata Sally, dengan suara
didalam-dalamkan. “Dia jarang sekali bicara mengenai kehidupannya. Semua orang
di kantor tahu akan hal itu. Ada apa memangnya? Sehingga Ibu menanyai itu.”
Sally balik menyerang, demi mengetahui modus Ibu Suwarti mengajukan pertanyaan
tadi.
“Tidak apa-apa!” Ibu Suwarti tertawa
seperti dibuat-buat. “Aku merasa, akhir-akhir ini Agus mengendur kinerjanya.
Kau mengerti, kan? Kalau ada pegawai yang mulai malas, kadang itu sebagai tanda,
bahwa dia sudah tidak suka lagi pada perusahaan.”
Tapi Sally tidak gampang percaya. Dia
yakin pasti ada sesuatu yang terjadi antara Ibu Suwarti dan Agus. Mungkin affair. Atau, lebih buruk, pelecehan
seksual.
“Aku juga rasakan begitu,” kata Sally,
seolah-olah membenarkan. “Agus makin sedikit bicara. Dia hanya bicara bila
berkenaan pekerjaan. Apa perlu kita cari tahu? Barangkali dia dalam keadaan
tertekan. Dan, dia belum menemukan orang tepat untuk mencurahkan hatinya.”
“Jangan!” Tiba-tiba Ibu Suwarti
mencegah.
Sally memasang wajah bingung.
“Bukan, maksudku, sebaiknya kita
jangan campuri dulu,” Ibu Suwarti berupaya mengendalikan diri. “Biarkan dia
menemukan solusi sendiri. Apabila dalam dua minggu ke depan, dia tetap murung,
aku sendiri turun tangan. Oke? Jangan ikut campur.”
Akhirnya, karena perbincangan selesai, Sally
minta diri. Setelah dia kembali ke mejanya, banyak hal yang dia pikirkan dari
perbincangan tadi. Entah kenapa dia yakin bahwa Agus mendapat pelecehan seksual
dari Ibu Suwarti. Malangnya, ketika Agus berupaya mencurahkan hatinya, dia
tidak peka. Bahkan, menganggap Agus plin-plan. Kini, dia merasa bersalah. Dalam
hatinya, mengebu-gebu untuk menemui Agus segera. Tapi bukan di sini, terlalu
bahaya, mata Ibu Suwarti di mana-mana, salah langkah sedikit saja, karir dan
semua hal yang telah dibangunnya di perusahaan ini dapat hancur seketika. Dia
memeriksa nomor Agus di handphone. Diketiknya beberapa kalimat, dan send. Lalu meninggalkan kantor.
****
Suara derum motor terdengar memasuki
halaman rumahnya. Hendro mengintip dari celah-celah kaca: ternyata Pak Putu,
yang dengan santainya turun dari motor dan mengetuk pintu rumah.
“Dik Hendro!” serunya, “Ini saya, Pak
Putu!”
Karena belum mendapat jawaban, diulangnya
lagi kalimat tadi.
“Dik Hendrooo! Apa kamu di dalam?”
Hendro akhirnya membuka pintu. Pak
Putu seketika tersenyum. “Aduhhh!,” kata Pak Putu, menepuk-nepuk jidatnya. “Maaf
sekali ya Dik. Motormu baru saya kembalikan sekarang. Tadi di kota, macetnya luar
biasa. Kami tidak bergerak sama sekali. Para pendemo itu betul-betul sialan.
Mereka memblokir jalan. Untung, setelah dua jam kami terjebak, polisi datang
dan membubarkan pendemo itu. Tapi sayangnya, baru beberapa meter kami melaju,
ban depan motor bocor. Barangkali terinjak paku yang sengaja dipasang pendemo. Saya
dan Lela terpaksa mendorong motor sejauh satu kilo ke tampal ban. Setelah
ketemu, eh, si tukang tampal bannya sedang keluar pula. Tidak ada cara lain
kecuali menunggu. Saya kasihan sekali pada Lela. Padahal, dia sedang sakit,
namun harus mendapat penderitaan sedemikian berat ini.”
“Ah ya,” Pak Putu melanjutkan. “Mana
Ana dan Rico? Saya ingin memberi ini.” Pak Putu menyodorkan bingkisan pada
Hendro. Hendro segera tahu isinya gorengan. “Sebagai permintaan maaf,” katanya,
sambil terkekeh.
“Saya dengar Pak Warjo ketemu Pak Putu
di mall, benar?”
Pak Putu gelagapan. “Ketemu di mall,”
ulangnya. “O iya. Kami ketemu di mall. Tapi jangan salah sangka dulu. Jadi,
sehabis menampal ban, saya baru menyadari kalau saya kekurangan uang. Maka itu,
saya pergi ke mall, mencari anjungan tunai mandiri.”
“Lalu, karena sudah di mall, tak lupa
membelikan Lela es krim, begitu?”
“Es krim,” Muka Pak Putu bertambah pucat. “Nah,
itu dia. Saya marah sekali pada Lela. Padahal dia sedang sakit, tapi dia ngotot
minta es krim. Saya katakan baik-baik padanya, ‘Lela, kamu itu sedang demam, dilarang
minum yang dingin-dingin.’ Tapi apa yang terjadi, dia malah menangis, dan
membuat semua orang memperhatikan kami. Katanya, kalau saya masih enggan
membelikan es krim, dia tidak akan beranjak dari mall, dan terus menangis.
Sehingga, terpaksalah saya belikan. Anak-anak memang begitu ya, Dik. Mereka
sulit sekali diberi pengertian.”
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan, Pak Putu
mendikatkan mulutnya ke telinga Hendro. “Saya bukan bermaksud menjelek-jelekkan
orang ya, Dik. Tapi asal tahu saja, Pak Warjo itu sepertinya benci sekali sama
saya. Di depan saya saja dia kelihatan bermanis-manis. Padahal, saya tahu, di
belakang saya, dia sering bicara buruk-buruk tentang saya ke semua orang.
Hingga sekarang, saya tidak habis pikir, apa salah saya padanya? Kalau saya ada
pesta, Pak Warjo selalu kami undang. Kalau kami sedang membuat kue atau suatu
apa pun, Pak Warjo selalu kami bagi. Tapi kenapa dia membalasnya kayak begini,
ya? Apa mungkin dia iri pada kehidupan kami. Eh, dengar-dengar, kata Pak Karim,
Pak Warjo itu memang suka syirik. Pernah waktu itu, saat Pak Karim beli mobil
baru, Pak Warjo malah bilang ke tetangga, ‘Uang korupsi dari mana lagi tuh.’
Ih, amit-amit. Bukan memberi ucapan selamat,
namun berburuk sangka.”
“Sekedar saran saja ya, Dik,” Pak Putu
menampakkan wajah serius. “Orang kayak begitu nggak perlu didengari. Dia itu
hanya perusak kerukunan dan keharmonisan di kompleks kita. Saya saja,
akhir-akhir ini, mulai menghindari Pak Putu. Kalau ada pertemuan, semisal
arisan, saya nggak mau datang kalau ada dia di sana,” katanya, sembari
mengembalikan kunci motor dan minta diri.
****
Sebelum menuju rumah, Sally mampir ke toko
buku. Dia ingin membeli sebuah novel untuk Hendro. Novel yang digadang-gadang
menyuarakan pria. Berbagai ulasan menyebutkan bahwa penulisnya adalah seorang
maskulinis. Novel yang akan dibelinya ini adalah representasi dari pengalaman
si penulis dalam membongkar hegemoni wanita.
“Menarik,” gumam Sally, membolak-balikkan
sampul buku itu.
Ketika menuju kasir─hendak membayar,
Sally dihentikan SPB (Sales Promotion Boy). SPB itu menawarkan produk El-men, susu
yang memicu terbentuknya otot tubuh pada pria. Sally jengah mendengar bualan produk
tersebut. Dia mencintai Hendro bukan karena fisik, melainkan karakternya. Maka
tak perlu benar memaksa Hendro yang pada dasarnya kurus menjadi atletis agar
dia birahi. Sally menolaknya dengan halus.
“Delapan puluh ribu,” kata kasir,
sambil memasukkan buku yang dibeli Sally dalam kantong plastik.
Sally merogoh dompetnya. Sebelum
memberi uang itu, dia mengambil sebuah majalah Men’s Fashion di rak dikat kasir. “Hitung ini juga!”
Selagi menunggu uang kembalian, Sally
membayangkan bahwa Hendro pasti suka dengan belanjaannya, terutama majalah Men’s Fashion. Semenjak mereka menikah, Hendro
semakin gila fashion. “Baiknya kamu
memakai blues biru ini Ma. Tidak! Jens itu jangan dipadu dengan kemeja putih.
Oh, rok merah ini baiknya dipakai hari senin.” Begitulah Hendro setiap hari
memperhatikan penampilan Sally. Saat pesta, Hendro selalu tampil luar biasa.
Hampir semua wanita melirik padanya. Kalau sudah begitu, Sally hanya bisa
tersipu, menerima pujian betapa beruntung dirinya mendapatkan pria semodis Hendro.
“Ya, Halo!” Sally menerima panggilan
dari ponselnya.
“Kau di mana?”
“Di jalan. Mengendarai mobil. Menuju
rumah.”
“Bisa ke markas. Penting!”
“Tunggulah 15 menit lagi.”
Sally terpaksa memutar arah. Kembali
ke kota. Dia bertanya-tanya: Ada apa gerangan sehingga Prisly memintanya ke markas.
Apa persoalan kemarin, saat Prisly mengatakan bahwa Hana sedang ditimpa
kesulitan. Sally menekan tombol ponselnya menghubungi Hendro, dan mengatakan
bahwa dia telat pulang. Di ujung saluran, Hendro hanya menjawab seraya
menggerutu, “Apa boleh buat. Kami terpaksa makan malam tanpamu lagi.”
****
“Kita terpaksa makan malam tanpa Mama lagi,”
kata Hendro, menghela napas.
“Kenapa bisa?” tanya Ana.
“Mungkin Mama ada pertemuan dengan
kliennya. Dan, biasanya akan sekaligus makan malam.”
Hendro lalu mengajak kedua buah
hatinya itu ke meja makan. Sebagaimana biasanya, Hendro menyapikan nasi untuk
mereka. Tentu saja, sesuai porsi yang sudah dihafalnya.
“Aku benci Mama,” kata Rico, membuat
Hendro terkejut.
“Kenapa kau bilang begitu, Rico?”
“Habisnya, Mama selalu tidak punya
waktu buat kita. Padahal, Rico ingin bicara banyak sama Mama.”
Hendro menghentikan suapannya.
Ditatapnya dalam-dalam kedua buah hatinya itu, terutama Rico. “Dengar! Kalian
harus tahu. Kesibukan Mama adalah untuk kebaikan kita juga. Dia yang mencari
nafkah. Kalian bisa sekolah, makan enak, berpakaian bagus, dan tumbuh sehat
seperti ini berkat Mama. Tanpa Mama, mungkin kita saat ini sudah menggelandang.
Jadi, jangan katakan suatu apa pun yang buruk tentang Mama. Kalau dia bisa
memilih, dia sebetulnya ingin menghabiskan waktunya bersama kalian. Tapi tidak
mungkin, karena dalam benakknya, kalian mesti bersekolah, dan menjadi orang
yang sukses. Maka itu, dia bekerja mati-matian buat kalian. Paham?”
Ana dan Rico terdiam. Tanpa banyak
bicara lagi, mereka meneruskan makan malam. Hendro tertegun. Kalau boleh jujur,
dia pun sebetulnya bersedih. Akhir-akhir ini, Sally gemar sekali absen saat
makan malam. Padahal, menurutnya, makan malam adalah saat terbaik bercengkerama.
Anak-anak bisa menceritakan kesehariannya di sekolah. Sedang, orangtua akan
mendengarkan cerita mereka, lalu sesekali menimpali, membuat guyonan, dan
nasihat-nasihat yang bermanfaat.
Tapi dia harus tegar. Bagaimana pun,
dia harus mempertahankan wibawa istrinya di depan anak-anak. Jangan sampai,
perihal ini, Sally kehilangan rasa hormat dari anak-anak. Seperti dialami
banyak keluarga yang sering dilihatnya di tivi. Gara-gara si anak tidak
menghormati lagi si ibu, si ibu akhirnya memukuli si bapak karena dianggap
tidak becus mengurus si anak. Dan, terjadilah KDRT. Dia takut sekali hal itu
menimpa keluarganya. Walau dia yakin, Sally tidak akan melakukan itu.
****
Tempat pertemuan mereka terbilang
mewah. Memiliki live music dan aneka
masakan dunia. Apabila ingin bicara empat mata, tanpa terganggu keriuhan,
tempat itu menyediakan kamar-kamar pertemuan. Biasanya hanya tamu yang penting
saja yang menggunakan kamar itu. Selain ongkos sewa yang mahal, tidak sembarang
orang dapat menyewanya. Beruntunglah, mereka adalah tamu setia dan sudah
dikenal sang pemilik. Sehingga mudah memintanya sewaktu-waktu, termasuk untuk urusan
malam ini.
“Bagaimana di jalan tadi?” kata
Prisly, menyilakan Sally duduk dan melihat-lihat daftar menu. Hana hanya diam,
tanpa ekspresi.
“Seperti bisa,” jawab Sally, “macet.” Dia
kemudian memesan tuna segar kepada pelayan.
“Ah ya, aku betul-betul minta maaf,” kata
Prisly. “Karena kami, kau melewatkan makan malam lagi bersama keluargamu.”
“It’s
oke!” tukas Sally. “Itulah guna sahabat. Apa yang ingin kalian bicarakan?”
Prisly menyikut Hana. Seketika, Hana
terjaga dari lamunannya. Ditatapnya dalam-dalam Sally, dari ujung matanya tiba-tiba
keluar bulir air. Sally cepat menangkap: ada yang tidak beres. Sally meyakinkan
Hana bahwa dia siap membantu. Hana pun mulai menceritakan semua hal yang melandanya.
Satu persatu. Sampai tiba pelayan mengetuk kamar dan meletakkan makanan yang
mereka pesan.
“Aku akan memberi saran sebagai
sahabat,” kata Sally, selesai pelayan tersebut menutup kembali pintu kamar.
“Walaupun begitu, keputusan tetap ada di tanganmu. Ini adalah hidupmu. Kau
sendiri yang harus ketuk palu. Dan, saranku adalah terima masa lalunya.”
“Maksudmu menerima bahwa dia tidak
perjaka lagi?”
“Hei, kau menikah karena perjakanya
atau orangnya, sih? Kalau yang kau cari perjakanya, tinggalkan dia! Cari yang
masih perjaka. Simpel, kan? Tapi kalau kau mencintai karena orangnya, kau tidak
boleh semena-mena. Ayolah! Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Han. Kau pasti
pernah melakukannya juga, kan? Tapi kenapa kau sulit menerima saat calon
pasanganmu melakukan itu. Dalam perspektifku, dia telah berusaha jujur padamu,
sebagai bukti cintanya, sebelum kalian menikah.”
Sally melanjutkan lagi. “Betul bahwa
laki-laki seharusnya menjaga keperjakaan mereka,” kali ini berusaha lebih
bijak. “Tapi rasanya tidak adil bila kau menilai baik atau buruknya seseorang
berdasarkan perjaka. Bisa jadi ketidakperjakaan calon pasanganmu saat ini telah
memberinya pelajaran. Selain itu, pelajaran pula bagimu untuk menerima ketidaksempurnaan
yang dihadiahkan Tuhan.”
Hening sesaat.
“Jawablah Han, apakah kau
mencintainya?”
“Ya.”
“Kau selalu memikirkannya, setiap
waktu, setiap kalian berpisah?”
“Ya.”
“Bagus! Mari kita habiskan makanan
yang mulai dingin ini dan pergi secepatnya!”
****
Pukul menunjukkan dua belas malam di
dasbor mobil. Sally menginjak gas dalam-dalam. Dia tahu, Hendro pasti sedang
menunggunya di rumah. Suaminya itu tidak bisa tidur kalau belum ada dirinya.
Sally senyum-senyum sendiri saat mengingat awal pernikahan mereka. Dimana
Hendro selalu punya alasan untuk dibawa saat dia mendapat tugas ke luar kota.
Suami yang posesif, gumamnya, membuang ludah menunggu antrian masuk ke tol.
“Halo cantik!” Sally mendengar suara dari
celah kaca yang dia buka barusan. “Apakah kau mencariku? Malam ini aku akan
memberimu separuh harga.”
Sally mual. Dia tidak menyangka dihampiri
gigolo. Dia menampik halus. “Suamiku menunggu di rumah. Aku harus menyimpan
tenaga untuknya.”
“Ok!” jawab gigolo. “Salam buat
suamimu,” Gigolo itu pergi dengan raut kecewa.
Sally teringat kembali, saat mendapat
tugas kantor di sebuah kota di ujung negeri beberapa tahun lalu. Di kota itu
syariat agama diberlakukan. Tidak mudah nampak gigolo di sana. Jangankan
gigolo, ketika siang, para pria diwajibkan memakai tudung. Bila mereka
melanggar, bersiaplah untuk ditangkap dan diadili. Hendro pada hari-hari
pertamanya di sana lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Dia enggan
mengikuti aturan semacam itu, terutama harus mengenakan tudung yang membuatnya
gerah.
“Kota bersyariat. Heh!”
****
Semaksimal mungkin Sally memasukkan
mobil ke garasi tanpa keriuhan. Begitu pula saat memutar kunci pada lubang
pintu rumahnya, halus dan sayup. Dilepasnya sepatu hak yang melekat di kaki
agar tidak terdengar ‘tik-tok’. Lalu pelan-pelan mengganti baju kerjanya dengan
daster yang biasa disiapkan Hendro di kamar mandi. Sebelum memasuki kamarnya,
dia menyempatkan mengunjungi bilik Rico dan Ana. Betapa bahagianya dia melihat
kedua anaknya itu tidur pulas, hingga tanpa sadar Hendro telah mendekapnya dari
belakang.
“Aku pikir kau sudah tidur,” kata
Sally, terkejut.
“Kau mau aku buatkan teh?”
“Boleh.”
Hendro melepas dekapannya dan segera
beringsut ke dapur. Sally mengejarnya sambil bercerita mengenai permasalahan yang
dihadapi Prisly. Hendro mafhum.
“Kau sendiri apakah akan menerimaku
kalau seandainya aku tidak perjaka?”
“Oh,
come on Hon! Aku tidak mau berandai-andai. Pikiranku sudah lelah,” jawab
Sally, diplomatis.
Hendro tersenyum, lalu meletakkan teh
itu di atas meja. “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Hendro kemudian.
“Hari ini aku banyak mual. Perutku
sepertinya bermasalah.”
“Apa perlu kita ke dokter?”
“Tidak perlu. Aku hanya masuk angin.”
“Tapi sudah baikkan, kan?”
“Tentu.”
“Baiklah.”
Akan tetapi barulah Sally hendak
menghirup teh buatan suaminya itu, mualnya datang lagi. Dia berlari menuju
kamar mandi. Hendro mengikutinya dari belakang, dan memijat-mijat tengkuk
Sally.
“Kenapa kau malah tersenyum?” tanya
Sally, membasuh mulutnya.
“Sepertinya kita perlu menyiapkan
anggaran baru Ma. Tuhan sepertinya telah menitipkan amanah-Nya satu lagi kepada
kita.”
“Apa?”
“Kau mengandung. Aku yakin kau
mengandung.”
Sally terenyuh. Dia tidak menyangka
hamil lagi. Perasaan, dia rutin menelan pil KB. Tapi kenapa bisa lolos.
Pikirannya mulai melayang ke mana-mana, membayangkan kerepotan yang bakal
dihadapinya ke depan tatkala perutnya mulai membesar. Dalam hati, kenapa pula
wanita yang hamil? Apa Tuhan tidak mengerti bahwa wanita pemimpin keluarga?
Kalau tahu begitu, pikir Sally, lebih baik menjadi laki-laki saja ketimbang
wanita.
--Selesai--
Rabu, 08 Juni 2016
[CERBER] DUNIA FIKSI 2
KELANJUTAN DF1...
Kantor hari itu sibuknya minta ampun. Pesawat
telepon terus berdering di sana-sini. Sally keluar sejenak menghilang penat. Menghabiskan
sebatang rokok merek Ardath. Agus yang melihat, datang mendekat.
“Rokok?” tawar Sally, mengetahui Agus menghampirinya.
“Terima kasih.”
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Entahlah,” kata Agus, merengut. “Aku
pikir, aku kelelahan. Ibu Suwarti sangat mobile.
Aku sulit mengikuti ritme beliau. Terkadang aku ingin berhenti saja; keluar
dari pekerjaan ini.”
Sally menyeringai, membuang abu di
ujung batang rokoknya. “Itulah risiko sekretaris. Apa kau sudah utarakan pada
istrimu?”
“Hmmm… sebetulnya dari dulu dia
menginginkan aku di rumah; menjadi bapak rumah tangga. Tapi aku tidak mau
dengar. Aku berkeyakinan bahwa pria harus pula berkarir. Tidak terkurung dalam
kubus yang disebut rumah.”
“Heh, baguslah! Lanjutkan
pekerjaanmu!”
“Tapi─”
Sally meninggalkannya. Dia lelah
melayani orang yang perkataannya kontradiktif. Orang seperti itu, mau dibilang
bagaimana pun, sulit menerima masukan. Lagi pula banyak pekerjaan lain yang lebih
penting daripada urusan Agus, pikirnya. Dia melempar pantat kembali ke kursinya
dan menyelia beberapa berkas yang menggunung di atas meja. Tiba-tiba perutnya
mual.
****
Hendro mulai gusar. Motornya belum
kembali. Padahal, dia sudah katakan kepada Pak Putu bahwa pukul satu siang dia
akan memakai motor itu untuk menjemput Ana dan Rico.
Akhirnya, demi menghindari
pikiran-pikiran negatif tentang Pak Putu, dia menyibukkan diri. “Ah ya,
kembangku seharian ini belum disiram.” Dia menyalakan air dari pipa di perkarangan
rumah dan mulai menyirami kembang-kembangnya. Saking asyiknya, dia tidak
menyadari kehadiran Pak Warjo di luar pagar.
“Kayaknya asyik benar,” sapa Pak
Warjo.
“Eh, Pak Warjo. Sudah lama di sana?
Maaf, saya ndak lihat.”
“Mana Ana dan Rico?”
“Belum pulang Pak. Saya belum bisa
jemput. Soalnya motor saya dipinjem
Pak Putu buat ngantarin anaknya berobat.”
“Berobat?”
“Iya, katanya anaknya demam.”
“Kok saya merasa anaknya ndak demam ya.”
“Loh, emang Bapak lihat anaknya? Saya
memang belum. Waktu Pak Putu ngambil motor, anaknya di rumah.”
“Lihat dong! Tapi bukan di rumah
sakit, melainkan mall.”
“Hah? Mall.”
“Iya, mereka belanja.”
Hendro terdiam. Mukanya memerah. Dadanya
bergemuruh seperti gunung hendak meletus.
“Bapak yakin? Ndak salah lihat.”
“Hakul yakin. Kami malah saling
menyapa.”
“Anaknya sehat-sehat saja?”
“Malah sedang menikmati es krim.”
“Terima kasih Pak, infonya,” Hendro
masuk ke rumah.
“Loh, Pak, ini airnya belum dimatikan.
Waduh, gimana ini?”
****
Minyak angin yang diberikan Prisly
mulai sedikit melegakan. “Kenapa aku ini?” keluh Sally. “Perasaan baik-baik
saja tadi. Kenapa kini mual?”
“Kau yakin sudah sarapan?”
“Tentu saja!” jawab Sally, jengah,
karena pertanyaan itu diulang-ulang. “Asal kau tahu, Hendro paling marah bila
kami keluar rumah dalam kondisi perut kosong.”
Sally mengoles kembali minyak angin di
perutnya. “Ini minum!” seru Prisly kemudian, menyodorkan teh hangat yang
dibuatnya sendiri di dapur umum.
Seteguk demi seteguk teh hangat itu
tandas di tenggorokan Sally. Tubuhnya mulai hangat. Tiba-tiba, dari kejauhan,
Loli memanggilnya dengan setengah berteriak. Ada apa lagi, sih?
“Ada telepon dari orang rumahmu, nih!
Katanya penting!”
Sally segera menuju meja Loli dan
mengambil gagang telepon itu secepat kilat. “Kenapa menelepon ke sini, Pa? Ini
kan bukan meja Mama.” Sally betul-betul marah, dia enggan mengucapkan kata
‘halo’ atau ‘honey’ sebagaimana sebelum-sebelumnya.
“Lho! Mama ini gimana?” dari ujung
saluran, suara Hendro tak kalah hebat. “Papa dari tadi menghubungi nomor Mama, tapi
ndak diangkat-angkat! Handphone, juga
demikian. Kemana lagi akhirnya kalau bukan ke meja Loli!”
“Oke! Mama yang salah.” Sally melunak,
bukan karena takut, tapi tak enak didengar Loli.
“Ndak
bisa gitu! Jawab dulu kenapa tadi ndak
diangkat?”
“Papa kayaknya mulai lagi.”
“Ya wajar dong, ini kan
ketidaknormalan.”
Apa?
Ketidaknormalan? Tidak mengangkat telepon suami di sela-sela pekerjaan menumpuk
di kantor disebut ketidaknormalan? Memanglah, pikiran pria, selalu rumit.
“Baiklah, Mama jawab. Mama mual tadi.
Perutmu Mama mendadak sakit. Untung Prisly memberikan minyak angin. Jadi, agak mendingan
kini.”
“Serius, Ma? Tapi betul Mama sudah
baikkan?”
“Iya. Jangan khawatir. Ada apa nih
nelepon ke kantor?”
“Nah, ini yang Papa ingin bicarakan.
Papa tahu Pak Putu, kan? Itu tetangga kita yang tinggal dua blok dari rumah.
Dia tadi pinjam motor. Katanya mau ngantar anaknya berobat--------” Hendro
bercerita panjang lebar, tanpa membumbuhinya sedikit pun. “Jadi, sekarang
baiknya bagaimana?” tanya Hendro meminta solusi dari istrinya.
“Kamu yakin Pak Putu belum ada
tanda-tanda akan pulang?”
“Aku yakin.”
“Baiklah! Berhubung kita sudah telat
setengah jam. Mama akan sewa taksi untuk menjemput Ana dan Rico. Kalau bisa,
sebelum taksi itu tiba di sekolah, kamu sudah kasih kabar ke pihak sekolah
bahwa Ana dan Rico dijemput taksi utusan kita. Mama akan kirim nopol taksinya.”
“Baik, Ma.”
Setelah menutup gagang pesawat
telepon, Sally meminta resepsionis mencarikan taksi. Tak sampai sepuluh menit,
taksi itu tiba. Dia memberi instruksi kepada si sopir. Si sopir segera paham.
****
Akhirnya, Pak Rudof membuka sesi tanya
jawab. Ana segera mengacungkan telunjuk. “Ya, silakan Ana?” Pak Rudof
memberikan izin kepada Ana menyampaikan pertanyaannya.
“Terkait pembagian tugas, dalam
buku-buku sejarah ataupun film yang saya tonton, kenapa selalu wanita yang maju
ke medan perang, bukan pria? Apa ini terkait warisan manusia purba?”
“Tentu!” jawab Pak Rudof. “Evolusi
telah mentakdirkan wanita menjadi lebih kuat. Jadi, sewaktu masa berburu dan
meramu, wanitalah pertama kali menciptakan senjata dan menggunakannya, bukan
pria. Maka itu, mereka akhirnya lebih terampil menggunakan senjata, yang di
kemudian hari digunakan saat-saat perang.”
Pak Rudof melanjutkan lagi
kata-katanya, “Walau demikian, bukan berarti pria tidak sama sekali terlibat
dalam perang. Mereka terlibat, namun sebatas juru rawat. Semasa perang dunia
empat puluh tahun yang lalu, banyak pria direkrut menjadi juru rawat. Mereka
sangat membantu.”
Ana mengangguk, “O…”
****
Karena guru Matematika mereka berhalangan
hadir, Bapak Kepala Sekolah hanya memberi tugas menjawab soal-soal di halaman
48. “Mana ketua kelas?” tanya Bapak Kepala Sekolah. Lesi mengacungkan telunjuk.
“Hasilnya nanti antar ke ruang Bapak ya!”
Keributan pun menggema lagi. Anak
laki-laki mengelompok untuk bergosip. Sedang, anak perempuan berlari-lari dan melompat-lompat
di atas meja, seakan berupaya menarik perhatian lawan jenis. Tiba-tiba Lesi
berteriak, “Hoi, diam! Kerjakan soalnya?” Tapi, tak satu pun yang menggubris,
mereka tetap membuat kegaduhan di kelas, kecuali Rico dan Andi.
“Kasihan Lesi. Betul-betul berat
menjadi ketua kelas,” kata Rico, bersimpati.
“Kau suka padanya, ya?” tanya Andi.
“Hah! Suka?”
“Aku perhatikan. Kau sering
melirik-lirik ke arahnya.”
“Itu kebetulan.”
“Jangan bohong!”
“Sungguh!”
“Mau aku sampaikan salam padanya?”
“Apaan, sih?”
“Mau nggak?”
Muka Rico memerah. Ada bunga-bunga di
dadanya.
“Aku ke sana, ya?” Andi kali ini
serius. Dia beranjak dari kursinya.
“Eh, jangan konyol!” cegah Rico.
“Kenapa? Tidak salah, kan, menyatakan
perasaan?”
“Bukan begitu! Sini, duduk dulu!” Rico
menarik lengan Andi, memintanya duduk kembali. “Papaku bilang, kalau kita suka
pada cewek, jangan pernah mengutarakan langsung.”
“Kenapa?”
“Karena kita akan kehilangan harga
diri.”
“Harga diri?”
“Iya, karena di mana-mana, cewek yang
harus mengungkapkan perasaan lebih dahulu, bukan cowok. Tugas kita, hanya
memberi tanda-tanda.”
“Tanda-tanda?”
“Misalnya,” Rico menjelaskan dengan
hati-hati, “Ini misal ya. Jangan kau anggap serius! Ketika aku suka pada Lesi.
Agar dia tahu aku menyukainya, aku sering mengajaknya makan di kantin. Atau
menghadiahkannya suatu barang yang tidak sedang dia miliki, seperti sarung
tangan kiper.”
“Ini beneran atau misalnya?”
“Kan sudah kubilang misalnya.”
“Tapi kok kayak beneran. Si Lesi kan memang hobi sepakbola. Dan, posisi favoritnya
adalah kiper. Ayo, ketahuan kau?”
Muka Rico kembali memerah. Dia tidak
bisa menutupi lagi perasaannya pada Lesi.
****
Sally kembali ke meja kerja, menyelia
beberapa berkas. Minggu depan, dia sudah menempati posisi baru. Maka itu, dia
berusaha menyelesaikan segala hal mengenai tanggung jawabnya kini; sebagai
anggota tim Divisi I. Saat sedang asyik mengelompokkan berkas-berkas ke dalam
satu folder, dia menemukan keanehan. “Lho, kok laporan Junaedi hanya sampai
Oktober. Novembernya mana?”
Dia turun ke lantai dua, mencari
Junaedi. Tapi dia tidak menemukannya. Seseorang dari sebelah, seakan tahu yang
dicari Sally, bersuara, “Cari Junaedi, Mbak?”
“Mas tahu?”
“Dia cuti, Mbak. Sejak tiga minggu
lalu.”
“Cuti? Tapi dia tidak memberitahu
apa-apa pada saya.”
“Saya pun begitu. Tahunya dari Joko.
Coba Mbak tanya saja sama dia. Tuh orangnya di meja paling pojok!”
Sally mendadak kesal. Bisa-bisanya
Junaedi cuti di saat kewajibannya belum tuntas. Anehnya, perusahaan mengabulkan
cuti itu.
“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang
pria berkepala pelontos melihat Sally sekilas, lalu kembali ke layar komputer.
“Apa kau tahu perihal Junaedi?”
“Ya, tentu. Dia sedang cuti. Cuti
menikah.”
“Bisa lama begitu?”
“Aku pun tak paham,” pria itu menaiki
bahunya, kedua jemarinya masih menari-nari di atas keyboard. “Yang jelas,
katanya, dia sedang dipingit.”
“Pingit?”
“Dikurung satu bulan, tidak boleh
keluar rumah, hingga resmi menjadi pengantin.”
“Aku baru tahu kalau ada adat semacam
itu.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Brengsek!
Sally menggumam. Sok sekali orang ini. Dia tidak tahu apa,
posisiku di atasnya. Mau bikin gara-gara.
“Kau tahu,” kata Sally, “berapa persen
perusahaan kita defisit tahun ini? Dan itu, membuat perusahaan mengambil kebijakan
akan melakukan PHK besar-besaran di semester depan.”
Pria bernama Joko itu berpikir sesaat.
“Dua persen.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Sally tersenyum puas. Paling tidak,
kedudukan satu-satu kini.
****
Setelah menempelkan gagang telepon ke
telinganya, Hendro mulai membolak-balikkan halaman buku telepon. Kalau tidak
salah, dia menulisnya di sudut kiri halaman terakhir. “Nah, ini dia,” katanya,
semringah. Lalu menekan-nekan tombol angka, dan menunggu.
“Halo! Ada yang bisa kami bantu?”
jawab seseorang, ramah, dari ujung saluran.
“Saya Pak Indrawati,” kata Hendro (Indrawati
adalah nama belakang Sally. Umumnya, kalau pria telah menikah, nama aslinya
hilang, dan diganti nama belakang si istri). “Saya orangtua murid Ana dan Rico.
Saya ingin mengabarkan bahwa mereka akan dijemput sopir taksi utusan kami.”
“Bisa berikan nopol taksinya, Pak
Indrawati?”
“Tentu. VK 4673 LL.”
“Baik. Kami akan mengurusnya. Ada lagi
yang bisa kami bantu, Pak Indrawati?”
“Itu saja. Terima kasih.”
****
Tak terasa sudah satu jam mereka
menunggu. Dan, sialnya belum ada tanda-tanda papa mereka menjemput. Rico mulai
jenuh. Sedang, Ana hanya memandangi pintu gerbang yang tinggi dan bawarna merah
itu, berharap papanya muncul di baliknya. “Mungkin motor Papa sedang dipinjam,”
kata Ana, berupaya mafhum, sekaligus menyabarkan hati adiknya. “Kita main
hom-pim-pa, yuk!”
Tapi Rico bergeming. Dia memilih
menundukkan kepala, memasang muka cemberut.
“Katanya kau dapat brosur dari Andi?
Boleh lihat?” Ana membujuk kembali.
Andi membuka ranselnya. Mengambil
brosur itu, dan menyerahkan pada Ana.
“Ih kerennnn,”
“Apa kubilang.” Andi mulai bicara.
“Aku yakin Papa langsung setuju
setelah melihat brosur ini. Kalau boleh usul, kau ambil kelas sore saja.”
“Aku pun berpikir demikian.”
Ketika sedang asyik membahas toko-toko
yang menjual keperluan balet, Bu Hilda, satpam sekolah, datang menghampir.
“Tadi saya dapat kabar dari Pak Narto
bahwa kalian akan dijemput taksi. Mungkin lima menit lagi sampai. Bersabarlah.”
Ana terbesit menanyai sesuatu. “Kenapa
kita dilarang pulang sendiri ya, Buk? Kami kan bisa pulang sendiri.”
Buk Hilda tersenyum. “Ini untuk
kebaikan kalian. Akhir-akhir ini sedang marak penculikan. Kami tidak mau hal
itu terjadi pada siswa di sekolah ini.”
“Tapi saya bisa menjaga diri,” debat
Ana.
“Kamu memang bisa, tapi bagaimana
adikmu? Dia laki-laki. Rentan menjadi target penculikan.”
“Kenapa laki-laki yang rentan menjadi
target penculikan?” tanya Ana, penasaran.
“Karena laki-laki itu lemah. Mereka
mudah dibujuk, dan bersedia tutup mulut kalau diancam. Maka itu, kita perlu
melindungi mereka. Terutama dari kejahatan seksual.” Tak lama kemudian, dari
arah pintu gerbang, terdengar klakson taksi yang bernopol persis disebutkan
Hendro di telepon. “Itu taksi kalian! Ayo siap-siap,” seru Bu Hilda.
****
Sally menghampiri meja Prisly.
Menghempaskan pantatnya yang padat ke kursi putar merek volmar. “Aku tak
percaya,” katanya, mengusap-ngusap muka.
Prisly yang heran, bertanya, “Apanya?”
“Dia mengambil cuti. Dan aku tidak tahu.”
“Siapa? Tolong ya ceritamu jangan setengah-setengah.
Aku bukan mentalis yang dapat membaca pikiranmu,” kata Prisly, jengkel.
“Junaedi. Kau tahu dia, kan?”
“Orang yang tinggi kurus itu. Kalau
bicara, lantang sekali, mirip perempuan.”
“Tepat!”
“Dia memang akan menikah. Masak kamu
nggak tahu? Hingga hari ini dia masih dalam pergunjingan kantor.”
“Ada apa memangnya?”
“Dia menyombongkan mahar perkawinannya.
Katanya, calon istrinya itu, demi mendapatkan dia, harus membayar ganti-rugi
yang luar biasa.”
“Ganti-rugi apa?”
“Ya, ganti rugi buat orangtuanya. Karena
orangtuanya yang membesarkan Junaedi hingga se-gorgeous dan sesukses sekarang.”
Sally menyeringai, macam hewan peliharaan saja. Tapi dia
enggan mengutarakan itu dan malah berkata, “Wow, transaksional sekali. Memang mahar
Si Junaedi berapa?”
“Kurang lebih, seharga SUV.”
“Apakah calon istrinya itu dari kalangan
berada?”
“Kalau dia mampu menebus, berarti dari
kalangan berada dong.”
“Belum tentu!” debat Sally. “Bisa jadi
dia berhutang. Karena banyak sekarang ini yang memilih berhutang demi menebus
mahar laki-laki. Keluargaku, ada semacam itu. Tapi aku memilih tidak. Lagi pula,
keluarga dari suamiku tidak menuntut apa-apa saat aku melamarnya. Asal kami
setuju dan saling mencintai, itu cukup. Kau sendiri?”
“Aku,” ulang Prisly. “Kau mau dengar
ceritaku? Hmmm… mahar yang kuberikan kepada istriku biasa saja sih, seperangkat
alat sholat. Tapi, pestanya yang menguras kantong. Untung pamanku mahir
bernegosiasi. Jadi, dari pihak laki-laki turut pula iuran, walau tidak seberapa.”
“Ngomong-ngomong, buat apa sih buat
mahar yang begitu tinggi itu?”
“Biasa. Status sosial.”
“Inilah yang merusak esensi
perkawinan,” sambar Sally, kesal. “Nggak terbayang berapa banyak pasangan yang
tidak bahagia akhirnya, karena si istri terlilit hutang demi mahar. Atau, bagi
mereka yang mau berencana menikah, harus menunda dulu, mencari uang, demi mahar
si laki-laki.”
“Apa mau dikata. Itu budaya kita,” kata Prisly, pasrah. “Tapi aku yakin, suatu
saat hal-hal seperti itu akan ditinggalkan.”
“Semoga saja.” Sally kembali pada pekerjaannya.
****
Taksi yang membawa mereka tiba di
rumah. Ana dan Rico segera keluar, lalu buru-buru menemui Hendro di dapur.
“Papa! Kenapa tidak menjemput kami hari ini?”
Hendro meletakkan peralatan masaknya,
ditatapnya putra semata wayangnya itu. “Motor Papa sedang dipinjam Pak Putu, Sayang.
Hingga kini belum kembali.”
“Kalau begitu, kenapa Papa pinjamkan?”
“Pak Putu bilang bahwa dia akan
mengembalikan motor itu sebelum pukul satu siang. Maka tak ada alasan Papa
menolaknya.”
Ana menaruh ransel di meja makan,
membuka kulkas, dan meneguk segelas air dingin. “Aku nggak mau naik taksi lagi.
Mereka lama. Tidak segesit motor.”
“Taksi itu dipesan Mama, Sayang. Kalau
Papa sih maunya kalian dijemput ojek. Lebih hemat, gesit, dan mampu menembus
segala medan di Kota Z yang sibuk.”
Ana mendekat ke kompor. “Wah, ada rica-rica.”
Rico terbelalak. “Betulkah? Kalau begitu
mari kita makan sekarang.”
“Eits, nanti dulu,” potong Hendro. “Papa
ndak suka, lihat kalian makan masih
mengenakan seragam sekolah. Pamali.”
“Ah, itu kan kata Nenek.” Rico
ngedumel.
“Iya, kata Nenek,” imbuh Ana.
“Nenek itu orangtuanya siapa?”
“Orangtua, Papa,” jawab mereka
serempak.
“Kalau begitu, kata Nenek sama dengan
kata Papa dong. Ayo, ganti dulu sana!”
Ana dan Rico tertatih-tatih menaiki
tangga. Mengganti pakaian mereka di kamar masing-masing. Lima menit kemudian,
mereka turun dan duduk di meja makan dengan rapi. Hendro menyapikan nasi untuk
mereka (tentu sesuai porsi yang telah dihafalnya), lalu mendorong sepiring
rica-rica yang disalinnya dari kuali.
“Jangan lupa doa!”
Kedua buah hatinya itu menengadahkan
kedua tangan dan komat-kamit seperti paranormal merapal mantra. “Selamat
makan!” Mereka menyodok rica-rica itu ke mulut. Daging dan kuahnya seketika berloncatan
mengotori meja. Nasi dan kecap bertumpahan di sisi kanan dan kiri piring.
Hendro menyunggingkan bibir. Dia puas melihat buah hatinya itu menikmati
masakannya dengan rakus.
Sambil mengunyah daging rica-rica yang
sedikit alot, Rico bercerita panjang lebar mengenai kesehariannya di sekolah,
termasuk brosur balet. “Papa, hari ini Andi memberiku brosur balet. Gambarnya
bagus. Kak Ana tadi sudah melihatnya. Dan, katanya, kerennn. Papa mau lihat
nggak? Nanti aku ambilkan. Kalau bisa, baca juga syarat pendaftarannya ya.
Mudah kok. Pas foto 3x4 sebanyak lima lembar. Uang pendaftaran awal, dan akte
kelahiran.”
“Kamu nodong, ya?”
“Nodong?”
“Ana,” seru Hendro. “Itu tadi nodong, ndak?”
“Mirip sih,” jawab Ana.
Hendro menghela napas. “Kalian harus
belajar dari awal lagi, bagaimana mengutarakan maksud, tanpa harus nodong. Rico
barusan nodong. Papa ndak suka.
Begini, Papa ajarkan. Pertama, selidiki dulu apakah orang yang kita mintai
pertolongan itu sedang kesulitan atau tidak. Contoh, Rico ingin les balet. Dan,
itu memerlukan biaya. Seharusnya Rico tanyai dulu apakah Papa sedang memiliki
uang lebih atau tidak? Kedua, biasakan percakapan yang penting seperti ini
dibahas di ruang keluarga, bukan meja makan. Di meja makan yang ringan-ringan
saja. Paham?”
Keduanya mengangguk.
Hendro melanjutkan lagi, “Sekarang,
habiskan dulu makanan kalian. Baru bicara les balet.”
Dua puluh menit kemudian, mereka duduk
di sofa ruang keluarga. Ana menyalakan tivi dan menyetel program acara
favoritnya, Toms and Jerry. Sedang, Rico menimbang-nimbang brosur yang akan
diserahkan pada papanya. “Mana lihat!” seru Hendro, meminta brosur itu. Tanpa
menunggu lama, brosur itu pun berpindah tangan.
“Gambar-gambarnya bagus,” komentar
Hendro, membuat Rico seketika seperti menari-nari di awan.
“Pada salah satu gambar,” terang Rico,
yang kini merasa yakin bahwa papanya pasti menyetujui les balet, “terdapat
gambar Andi yang sedang menari-nari.”
“Mana?”
Rico merapatkan tubuhnya pada Hendro.
Sehingga, wajah ayah dan anak itu sejarak dua jengkal. “Ini! Yang rambutnya
dicat cokelat.”
“Astaga! Itu Andi. Papa tak mengira.
Kenapa rambutnya dicat cokelat begitu?”
“Katanya, dia sedang memerankan seekor
kancil yang dikutuk menjadi angsa.”
“Peran yang aneh!”
“Begitulah.”
Hendro pun menghela nafas, mulai
berpikir keras keputusan apa yang bakal diambilnya setelah melihat brosur itu. Ana
hanya senyum-senyum menengok papanya itu. Menurut Ana, papanya terlalu
mendramatisir keadaan. Seakan, keputusan yang diambilnya berpengaruh pada
seluruh tatanan kehidupan. Berbeda sekali dengan Mama: santai, tapi pasti.
“Papa perlu bicarakan dulu sama Mama,”
kata Hendro, mencari aman, agar keputusannya tidak dipersalahkan kemudian hari.
Muka Rico seketika berubah layaknya
kepiting rebus. Dia tak menyangka, papanya memilih menggantung keputusan. Ana
berupaya membantu adiknya. “Pagi tadi di mobil, kami sudah berdiskusi. Mama bilang
bahwa dia menyerahkan sepenuhnya pada Papa. Karena Papa yang mengelola
keuangan,” kata Ana.
“Begitu? Baiklah, Papa akan mengambil
keputusan. Tahun depan, Rico...” Hendro menahan sejenak, mengambil napas. “Tahun
depan, Rico… diizinkan les balet.”
Rico meloncat kegirangan. Ana tertawa.
Hendro tersenyum.
BERSAMBUNG...
Langganan:
Postingan (Atom)