Suatu
pagi Sally membaca surat kabar yang begini isinya:
KOTA Z - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
kembali terjadi. Kali ini dialami AP (30), warga Kelurahan X, Kecamatan Y, Kota
Z.
Menurut AP, istrinya MS
(26) sudah sering melakukan kekerasan fisik pada dirinya, hingga tubuhnya memar
dan bengkak-bengkak.
"Sejak kami
pacaran hingga usia perkawinan sudah dua tahun lebih ini, tidak jarang dia
memukul saya," kata AP, di Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Terakhir, penganiayaan
terjadi pagi kemarin di kediaman mereka di E. Dia ditendang, dipukul di bagian
kepala, dan dadanya diinjak. Tak hanya itu, korban juga kerap dibenturkan ke
tembok dan lantai, lalu diinjak-injak.
"Selama ini saya
hanya pendam. Karena tidak tahan lagi, saya pun laporkan ke polisi,"
jelasnya.
Awalnya, lanjut
korban, dirinya berpikir kekerasan fisik yang kerap dialaminya akan berlalu
setelah menikah dan dikarunia anak. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
"Dia tidak
pernah berubah. Meski kami sudah dikaruniai seorang putra yang kini sudah
berusia hampir tiga bulan, tapi sifat ringan tangannya tidak berubah."
Karena tidak tahan
disiksa terus, korban pun terpaksa melaporkan perbuatan istrinya itu ke
Polresta Z.
"Permintaan saya
bukan cerai. Tapi saya berharap dia ditahan agar jera. Mungkin dengan demikian
dia bisa berubah," harap korban.
Kasubbag Humas
Polresta Z AKP Anna Indigo mengatakan, laporan korban sudah diterima dan
selanjutnya akan ditangani Unit Perlindungan Laki-laki dan Anak (PLA) Polresta Z.
"Korban suruh
kami datang lagi pada Senin pagi di PLA. Kasus ini akan segera
diselidiki."
Sally beralih ke kolom lain. Dia menghela
napas membaca satu lagi berita yang begini isinya:
KOTA Z — Kasus pelecehan seksual di dalam bus trans-Z
kembali terjadi. Kali ini, pelecehan seksual dialami RA (15), siswa SMA di
bilangan Y. Korban mendapat perlakuan tidak senonoh dari LS (29) saat menumpang
bus trans-Z Koridor VII (Kampung A-Kampung D).
Beruntung, aksi LS
dipergoki Rasyid (35), penumpang lainnya, yang kemudian langsung membawa korban
ke Polresta Z.
Diceritakan Rasyid,
RA naik trans-Z dari Halte A, sedangkan LS naik dari Halte B. Memanfaatkan
situasi bus yang penuh sesak penumpang, LS dilihatnya mulai mendikati korban
yang saat itu sama-sama dalam kondisi berdiri. Sejak di kawasan B, LS mulai
terlihat menggerayangi bokong dan bagian belakang paha korban.
"Saya
memerhatikan gerak gerik yang mencurigakan dari pelaku. Setelah saya dikati,
ternyata benar pelaku sedang memegangi bokong korban," ujar Rasyid di
Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Dia mendapati aksi
bejat LS saat trans-Z berada di Halte C. Dia pun kemudian menangkap tangan
pelaku yang tengah memegangi pantat korban sambil membentaknya.
Keruan saja, teriakan
itu mengundang perhatian dari penumpang lainnya. LS pun hampir menjadi
bulan-bulanan para penumpang. Beruntung, petugas trans-Z berhasil mencegahnya,
kemudian membawanya ke Polresta Kota Z bersama RA dan Rasyid.
Di hadapan penyidik,
LS tampak lebih banyak terdiam. Namun, RA yang masih mengenakan seragam SMA dengan
beberapa helai janggut tipis di dagu mengiyakan saat petugas menanyakan apakah
terjadi pelecehan terhadapnya.
"Saya diam
karena saya takut, apalagi pelaku terlihat cantik dan ayu, kalau saya teriak
semua orang bakal tidak percaya," kata RA.
LS juga sempat
menolak tuduhan saksi dan korban bahwa ia telah melakukan pelecehan seksual.
Dia mengaku memegang pantat RA karena saat itu terdorong penumpang lain.
Terlebih, saat itu bus dalam keadaan penuh.
"Justru saya
menghindari bersentuhan dengan korban, tetapi karena penumpang lain terus
berdesakan, akhirnya saya pun terdorong," kilahnya.
Bahkan, guna
meyakinkan petugas, pelaku siap mencium kaki korban untuk meminta maaf dan
meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Karena melibatkan
pelajar, oleh petugas, kasus ini kemudian dilimpahkan ke Unit Perlindungan Laki-laki
dan Anak (PLA) Polresta Z.
Sally menghempas surat kabar itu di
atas meja. “Sial! Seminggu bisa dua kali baca berita kayak begini.”
Tak lama kemudian, Hendro, suami
Sally, muncul dari dalam rumah membawa secangkir kopi. “Ada apa toh, Ma? Pagi-pagi sudah masam?”
Sally menerima kopi itu. Segera
dihirupnya. Nikmat luar biasa. Hendro memang suami yang pandai. Kalau
dipikir-pikir, beruntung sekali dia mendapatkan Hendro. Selain pintar masak, ngasuh
anak, Hendro juga hebat di ranjang. “Biasa,” jawab Sally, “berita basi! Agar
surat kabar mereka tetap laku.”
Hendro mengernyitkan dahi.
“Iya… berita pelecehan seksual,
perkosaan, dan kekerasan rumah tangga. Berita-berita seperti itu ditulis besar-besar
judulnya oleh redaksi. Agar pembaca tertarik dan mendapat ‘plus-plus’ selain
berita politik. Bacalah gaya bertutur mereka, mirip cerpen,” terang Sally. “Eh,
anak kita sudah kau mandikan belum? Lima menit lagi aku berangkat.”
Hendro mengangguk. “Itu mereka sedang
sarapan. Apa perlu aku buatkan bekal?”
“Oh tidak-tidak. Siang ini aku makan
bersama klien.” Sally beranjak dari kursi, mengelap mulut dari sisa kopi, lalu
mengecup dagu sang suami. “Ana! Rico! Ayo, Nak!”
Sejurus kemudian, anak-anak mereka keluar
dari dalam rumah. Hendro mencium satu-satu pipi mereka. Sambil melambaikan
tangan melihat mobil yang keluar pagar, Hendro berteriak, “Semoga hari ini
menyenangkan! Papa mencintai kalian!”
****
Mobil mereka bergerak pelan memasuki
jalan protokol Kota Z. Baru beberapa meter, telah terjadi kemacetan. Sally
mendengus, kenapa bertahun-tahun
pemerintah belum dapat juga menyelesaikan persoalan ini? Bertahun-tahun,
ulangnya. Ana yang duduk di sampingnya hanya tersenyum dan berupaya menghibur.
“Kemarin Pak Rudof mendongeng di
kelas. Dongeng Aladin. Katanya, Aladin punya kendaraan unik, yakni karpet
terbang. Kira-kira di mana tempat menjual karpet terbang itu ya, Ma?”
Rico yang awalnya hanya duduk manis di
kursi belakang mendadak nimbrung. “Betulkah? Ada kendaraan semacam itu? Apa
namanya tadi? Karpet terbang?”
“Hmmm…,” Sally menggumam, “Iya, karpet
terbang, Sayang. Tentu saja ada.”
Ana dan Rico terbelalak. Mereka memusatkan
perhatian dan menunggu kata-kata selanjutnya dari Sally. Tentu saja, Sally
sebetulnya sudah tidak dapat menahan tawa melihat dua buah hatinya itu memakan umpannya.
“Kita bisa menemukannya di…”
“Iya, di…” kata mereka serentak.
“Di dalam mimpi!”
“Yah…” Ana dan Rico lesu. Lalu, mulai
tertawa terbahak-bahak. Mama mereka suka jahil. Tapi anehnya, mereka selalu menikmati
kejahilan itu.
“Mama,” kata Rico. “Naik kelas tiga nanti
aku mau les balet. Teman-temanku sudah banyak yang les balet.”
“Aku juga,” sambar Ana. “Aku mau masuk
tim sepakbola.”
Sally membelokkan mobilnya keluar dari
jalan protokol. Beberapa kilo lagi mereka sampai di sekolah. Sally menurunkan
gas, dan mulai bicara. “Kamu yakin mau les balet? Sudah kau ceritakan pada Papa?
Soalnya dia belum bicara apa-apa pada Mama. Kalau boleh usul, kenapa tidak les
musik saja, Sayang?”
“Nggak ah! Aku nggak suka musik. Aku
mau nari.”
“Oke, nanti kita diskusikan lagi sama
Papa. Dia yang mengatur keuangan kita. Lalu, kau Ana, badanmu kurus begitu mau
masuk tim sepakbola. Apa tidak takut cedera?”
“Di mana-mana tiap olahraga ada
resikonya, Ma. Percaya saja sama Ana deh.”
Tanpa terasa, mereka telah di depan pintu
gerbang sekolah. Kedua buah hatinya itu siap-siap turun. “Belajar yang benar
ya,” kata Sally. “Ingat! Kalian nanti dijemput Papa. Jangan coba-coba pulang
sendiri. Kalau memang ada belajar kelompok atau kegiatan sekolah, beritahu Papa.
Karena dia paling mencemaskan kalian. Mengerti!” Ana dan Rico mengangguk,
kemudian keluar dari mobil setelah mencium tangan Sally, satu-satu.
****
Setumpuk kegiatan telah menanti Hendro.
Mulai dari masak, cuci pakaian, belanja, hingga membersihkan rumah.
Kegiatan-kegiatan itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Sebelum menikah, dia dan
Sally memang membuat kesepakatan bahwa satu-satunya yang mencari nafkah adalah
Sally, sedang urusan rumah tangga dan tetek bengek lainnya jatuh ke tangannya.
Hendro mulai mencatat bahan-bahan yang
akan dibelinya di supermarket. Dia teringat Ana dan Rico yang minta dibuatkan
rica-rica. “Ah ya, daging ayam.” Lalu membereskan diri seadanya dan berangkat.
Di luar pagar, dia berjumpa Kastadi−tetangga
supel yang menjadi teman akrabnya. Kastadi tampak memegang keranjang di tangan
kanannya. Hendro segera paham. “Ayo bareng. Ini hari baik, bukan?”
Sepanjang perjalanan menuju
supermarket mereka bicara banyak hal. Mulai dari kabar angin Si Kadir yang
katanya tak tahan dengan perlakuan istrinya yang buruk, hingga perceraian artis
yang terjadi bak cendawan di musim penghujan.
“Memang dua cukup?” tanya Kastadi,
mulai memilah-milih sayur di supermarket.
“Apanya?”
“Momongan. Masak cabe!” Mereka berdua tetawa terbahak-bahak.
“Oh! Aku sih pengen banyak. Tapi ndak
tahu istriku, dia sepertinya kurang berkenan.”
“Kenapa tidak dijebak aja?”
“Hush! Kalau bikin anak itu jangan
main enak sendiri.”
“Oalaa… nanti juga kalau berisi, kan,
tetap dirawat.”
“Memang. Tapi ndak seru, kalau merawatnya entar setengah hati? Kamu sendiri ndak nambah?” Hendro memasukkan
sayur-sayuran ke keranjang. Kemudian berpindah ke area daging. Dia menunjuk
potongan ayam kepada pramusaji. Memeriksanya, dan minta ditimbang.
“Kami berencana tahun depan. Istriku
masih berusaha mengumpulkan uang agar tidak memberatkan nanti. Kau tahulah, ada
empat kepala yang harus dia beri makan.”
“Kenapa kau tidak kerja saja?” tanya
Hendro, kali ini memandang Kastadi lekat-lekat.
“Aku sudah utarakan. Ya… akhirnya dia memperbolehkan
juga. Tapi tetap dengan syarat, mencari uangnya cukup di rumah. Seperti membuka
kursus, atau usaha katering dan lainnya.”
“Bagus itu. Aku suka. Suami harus pula
kreatif. Kalau mau buka kursus. Kursus apa memang?”
Kastadi mendengus, “Hmmm… kau pasti
tidak percaya.”
“Apa memang?”
“Menjahit.”
“Kau bisa menjahit rupanya?”
“Bukan lagi bisa, tapi mahir.”
“Wah, kalau begitu sebaiknya buka
butik saja. Aku kenal beberapa orang yang bagus buat kau jadikan asisten.”
“Saran yang bagus. Tapi aku butuh
persetujuan istiku dulu.”
Mereka menuju kasir. Mengantri, lalu meletakkan
satu-satu belanjaan mereka di meja. Kasir tersebut segera menghitungnya.
Sembari menunggu total, Hendro menanyakan kontrasepsi, tanpa memedulikan bahwa
kasir tersebut turut mendengar.
“Menurutmu, kontrasepsi apa paling
baik?”
“Buat siapa dulu, nih?”
“Keduanya boleh.”
“Buat suami, kondom. Buat istri, pil
KB.”
“Selain kondom?”
Kastadi mengangkat kedua bahunya,
“Tidak ada yang lebih baik.”
“Aku benci kondom. Membuatku tidak
leluasa.”
“Tetapi itu berguna mencegah
kehamilan.”
“Tentu saja, tapi aku enggan
memakainya.”
“Oh, jadi selama ini kau hanya
mengandalkan istrimu saja? Itu masih beresiko.”
Hendro menyerahkan kartu kredit
miliknya kepada kasir. “Biarlah! Toh,
aku sudah mengingatkan Sally untuk mengonsumsi pil KBnya setiap hari.”
****
Ketika bel istirahat berdering keras, seluruh
siswa di sekolah dasar di Kota Z berhamburan menuju kantin. Bahkan, sebagain
ada yang berlari seakan takut tidak kebagian tempat. Ana perihatin menyaksikan
itu setiap hari. Dalam kepalanya, coba saja kalau mereka membawa bekal, maka
tidak perlu betul berebutan seperti itu. Dia memilih duduk pada sebuah bangku di
bawah pohon. Membuka bekalnya. Cindy dan Putri segera bergabung.
“Kali ini papaku menyiapkan sandwich
dan kacang polong. Sungguh bekal yang hebat!” kata Ana, meluap-luap.
Cindy dan Putri lalu membuka pula bekal
mereka. Dengen ekspresi mau muntah, keduanya berkata, “Bekal yang buruk!”
“Memang apa yang kamu bawa?”
“Kue lupis. Aku benci kue lupis. Terlalu
manis,” jawab Cindy.
“Kamu?”
“Mi instan! Begini nih kalau Umi yang
menyiapkan bekal,” rutuk Putri, seakan merindukan sosok abinya.
Mereka tertawa.
“Ngomong-ngomong. Kamu jadi daftar di
kesebelasan Esa?” tanya Cindy, sambil berupaya keras menghabiskan kue lupisnya.
“Entahlah. Pagi tadi aku sudah
utarakan pada mamaku. Mungkin dia akan memberi jawaban besok.”
Dari kejauhan, mereka melihat anak
laki-laki sibuk main lompat karet di halaman sekolah. Sedang, anak perempuan
hampir seluruhnya asyik main kelereng. Sekarang, memang lagi musim kelereng.
Ana memiliki banyak koleksi kelereng di kamarnya.
“Mau main?” tanya Putri.
“Siapa takut!”
Mereka kembali ke kelas dan mengambil
kelereng masing-masing di tas.
****
Brosur les balet yang dibawa Andi hari
ini begitu menggodanya. Gambar-gambar penari balet yang sedang
melenggak-lenggok bak angsa yang dilihatnya saban hari di danau kota membuatnya
berfantasi. Bagaimana kalau itu aku? Mama
dan Papa pasti bangga. Oma akan rela
datang dari jauh demi melihat aksi panggungnya. Dan setelah turun, omanya itu
akan berkata, ‘Cucuku luar biasa. Itu
adalah penampilan terbaik yang pernah aku lihat.’ Dia senyum-senyum sendiri
membayangkan itu. Membuat Andi keheranan.
“Bagaimana? Jadi daftar?”
“Tentu,” kata Rico, mengalihkan
kembali sorot matanya pada Andi. “Tinggal menunggu waktu.”
“Baguslah. Aku senang bila kau turut
bergabung.”
Tepat di depan mereka, tiga orang anak
laki-laki berpakaian modis, melintas. Mereka sama sekali tidak melirik ke arah Rico
dan Andi.
“Sombong sekali orang itu!” Andi
bersungut. “Mereka pikir, mereka paling ‘wah’ begitu. Aku sungguh malas bila
bertemu mereka lagi di tempat les. Mereka selalu minta diperhatikan lebih oleh
instruktur, seakan mereka membayar paling mahal saja.”
“Maksudmu, Brio, Michael, dan Steve juga
ada di sana?”
Andi mengangguk.
“Menarik!”
“Apa yang menarik?”
“Artinya kita punya rival. Omaku
bilang, rival penting untuk meningkatkan kesungguhan kita.”
****
Setelah bergumul melawan macet
berjam-jam, Sally tiba di kantor. Pertama-tama, yang dilakukannya adalah
bertanya kepada resepsionis: Apa bos sudah datang? Kalau sudah, dia akan
menyiapkan alasan tepat mengenai keterlambatannya. Tapi syukurlah, si
resepsionis bilang bahwa bos belum datang. Membuatnya merasa sedikit lega.
Baru saja dia duduk di kursinya, Prisly
datang mendekat sambil menjulurkan tangan meminta berjabat. “Selamat!”
“Atas apa ini?”
“Kau serius tidak tahu?”
Sally berupaya mengingat. Rasanya dia
tidak berulang tahun hari ini. Memenangi lotere pun mustahil karena dia belum
pernah memasang lotre di kasino kota Z, seperti teman-teman lain.
“Katakan apa? Aku malas bermain
misteri.”
“Baiklah,” kata Prisly, merasa menang,
“Tapi kau harus janji bahwa kau akan mengadakan perayaan.”
“Ya! Apa?” Sally mulai hilang
kesabaran.
“Mulai besok kau akan menempati posisi
baru.”
“Apakah sebagai satpam? Aku akan
menolaknya.”
Prisly tertawa. Dia terkejut mendengar
jawaban Sally. “Kau masih bisa bercanda ya di saat seperti ini. Baiklah, aku
katakan saja, sebagai Manajer Divisi I.”
Sally terbelalak. Bukankah Manajer
Divisi I adalah posisi yang paling didamkan banyak orang? Bila sudah menempati
posisi itu, perihal gaji sangat terjamin. Bahkan, dengar-dengar dari
selentingan orang, cukup empat tahun saja menjabat sudah dapat membeli satu
buah vila di bukit M. Hanya saja, kesibukan yang didapat betul-betul luar
biasa. Tapi, apalah arti sibuk empat tahun, bila nantinya mendapat kesenangan sepuluh
tahun.
“Kau tidak bercanda, kan?”
“Tentu saja. Aku sebetulnya enggan
memberitahumu. Bos menginginkan pengumuman ini di pertemuan nanti. Tapi aku
cemas, takutnya kau pingsan. Dan, itu bisa membuat repot banyak orang. Makanya,
aku kasih tahu saja sekarang. Hehe.”
Sally menyikut lengan Prisly, “Bisa
saja kau!”
“Ayo, cepat! Siapakan materimu. Bentar
lagi kita presentasi.”
****
Sembari menunggu Bos memasuki ruangan,
Sally membuka akun twitternya. ‘Ricardo Prayitno’ mendadak menempati peringkat atas
topik pembicaraan pagi ini. Dia sudah tahu, kenapa Putra Negeri Z 2095 tersebut
mendadak dibicarakan banyak orang. Pasti, perihal buka-bukaan yang dilakukan
Putra Kota Z tersebut dalam ajang Mister Universe.
“Duh, tiap tahun selalu begini,” rutuk
Sally.
“Kenapa? Perihal Mister Universe, ya?”
tebak Prisly, seakan tahu isi kepala sahabatnya itu.
“Tidak lain. Menurutmu bagaimana
artikel ini?” Sally menyerahkan tabletnya pada Prisly.
KOTA Z – Berhasil melenggang mengikuti kompetisi
Mister Universe, merupakan tantangan tersendiri bagi Putra Negeri Z 2095,
Ricardo Prayitno.
Selain harus
mempersiapkan diri dan potensi terbaik untuk bersaing dengan kontestan lain
yang berasal dari beberapa negara. Ricardo juga mesti menguatkan mental dalam
mengikuti kompetisi busana swimwear yang merupakan tahapan wajib dalam ajang
Mister Universe.
Tantangan terbesar
yang dihadapi oleh Ricardo tentunya reaksi penolakan sebagian besar masyarakat Negeri
Z mengenai kompetisi busana swimwear itu sendiri.
Mau tidak mau, untuk
lancar menjalani masa karantina menuju malam final Mister Universe 2095, Ricardo
memang harus mengenakan dan mengikuti kompetisi berbusana swimwear.
Menurut Ricardo,
kompetisi dan foto swimwear jangan dilihat dari luar saja. Namun, masyarakat
juga harus menghargai niat baik dan perjuangan para Putra Indonesia yang wajib
melewati tahapan itu demi mengharumkan nama Negeri Z dalam kancah internasional.
"Foto swimwear
jangan dilihat swimwearnya saja, lihat niat baik di baliknya. Dia (Putra Negeri
Z) harus memakai swimwear untuk ikut kompetisi," ujar Cipto, Dirut Putra
Indonesia, ditemui dalam acara peluncuran jam tangan La Mer di SKYE, Kota Z
beberapa waktu lalu.
Menanggapi reaksi
penolakan dari sejumlah pihak mengenai pria Negeri Z mengenakan swimwear dalam
ajang Mister Universe. Ricardo menuturkan jawaban bijak dan tidak berpihak.
"Saya tidak akan
bisa memaksa kehendak semua orang. Karena penduduk Negeri Z ada banyak. Ada seratus
juta lebih," imbuhnya.
"Seperti saya
hanya foto dengan swimwear memang untuk kompetisi, di luar itu kan tidak pernah
lagi. Apa yang harus dilakukan memang perlu dilakukan," pungkas Ricardo sebelum
keberangkatannya.
Prisly mengembalikan lagi tablet itu pada
Sally. “Menurutku jelas, swimwear adalah bagian dari rangkaian
kompetisi tersebut. Lalu, untuk apa dipersoalkan? Kalau tidak mau ikuti
rangkaiannya, ya… tidak usah kirim. Terima saja, bahwa kita melewatkan lagi kesempatan
besar untuk mempromosikan Negeri Z pada dunia.”
“Sepakat!
Tapi, bagaimana menjawab ‘Kenapa perlu buka-bukaan begitu? Kalau dieleminir,
kan, tetap tidak mengurangi esensi kompetisi?’”
“Aku
mengerti. Hanya, aturan itu dibuat berdasarkan kesepakatan seluruh anggota.
Lagi pula, di mana-mana pria adalah media tepat membujuk kaum investor. Bahkan,
sejak zaman kuno.”
“Berarti
pria itu komoditas dong?”
“Mau
tidak mau,” jawab Prisly, mengangkat bahunya. “Bagian dari evolusi.”
****
Hendro
menghepas tubuhnya ke sofa. Hembusan angin dari kipas di atas kepalanya segera
menyerbu pori-pori rambutnya. Kota Z panas sekali bila siang. Apalagi
diperparah emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang tumpah ruah sepanjang
jalan. Rasa-rasanya, untuk menuju Kota Z yang sehat 2099, hampir mustahil.
Setelah
sedikit sejuk, Hendro beranjak ke dapur. Dikeluarkannya satu-satu belanjaannya
tadi, lalu ke ruang keluarga, menyalakan tivi, dan memotong-motong bahan untuk membuat
rica-rica kesukaan Ana dan Rico.
Tiba-tiba
dia teringat perkataan Kastadi di supermarket. Putra yang Ditukar akan memasuki episode terakhir. Dia merasa
menyesal melewati tiga episode sebelumnya. Kastadi bilang, pada tiga eposide
itu, mulai terungkap bahwa Sunaryo bukan anak dari Retno dan Zali. Sunaryo
hanyalah korban kejahatan seorang juru rawat laki-laki yang memendam amarah
pada Lili─ibu Sunaryo sebenarnya─karena pernah menolak cinta juru rawat itu. Di
sisi lain, Lili sulit melepas Leo, walau dia tahu, Leo bukan anak kandungnya. Tapi
dia merasa, Leo dibesarkan olehnya. Dialah yang merawat dan memberi pendidikan
hingga Leo mencapai impiannya. Namun, melirik kondisi Sunaryo yang miskin,
rasanya tidak adil juga membiarkan anak kandungnya itu tetap bersama keluarga
Retno dan Zali. Sehingga, konflik batin pun berkelindan.
Kringgg!!! Kringgg!!!
Dengan
sedikit menggerutu, Hendro menyeret kakinya menuju pesawat telepon. “Ya?”
“Dik
Hendro? Ini saya, Pak Putu.”
“Oh, Pak
Putu. Apa kabar, Pak? Ada apa gerangan menelepon siang begini?”
“Wah,
maaf ya Dik, bila saya mengganggu aktivitasnya. Saya sebetulnya─”
“Oh nyantai
saja, Pak,” potong Hendro yang menyiratkan bahwa dia tidak mau berbasa-basi
lagi. “Katakan saja apa yang bisa saya bantu?”
“Begini
Dik. Si Lela sepanjang hari ini tidak enak badan. Saya takut terjadi
kenapa-kenapa. Maka itu, saya ingin mengajaknya berobat. Tapi saya tidak
memiliki kendaraan. Kendaraan kami, yang hanya satu-satunya itu, sedang dipakai
istri saya kerja. Boleh tidak Dik, saya pinjem
dulu motornya? Saya janji ganti minyaknya nanti.”
“Oh,
tidak perlu begitu Pak,” jawab Hendro, lugas. “Jangan sungkan memakainya. Pakai
saja sesuka hati. Tapi−“ suara Hendro agak tertahan. “Kalau bisa, usahakan
pukul satu siang ini kembali ya, Pak. Soalnya mau jemput Ana dan Rico.”
“Pasti Dik!
Saya akan kembali sebelum pukul satu siang. Terima kasih sekali ya Dik. Pak
Hendro memang tetangga─”
“Oke!
Ambil saja motor dan kuncinya di rumah.”
“Baik Dik!
Terima kasih sekali lagi.”
Klekkk!!!
****
Setelah menaruh buku ajarnya di atas
meja, Pak Rudof menyambar kapur dan menulis sebuah tema yang akan dibahasanya hari
ini: Manusia Purba.
“Sebelum kita masuki materi. Bapak
ingin tanya dulu, siapa di sini yang pernah berkunjung ke Museum Purbakala E?”
Hampir sebagian siswa menunjuk,
termasuk Ana.
“Ana!” seru Pak Rudof. “Bagaimana rupa
manusia purba di museum itu?”
Ana berupaya mengingat. “Kulit mereka
hitam dan ditumbuhi banyak bulu. Mereka tidak berpakaian. Yang laki-laki,
banyak janggutnya. Sedang perempuan, rambut mereka kusut.”
Seketika, seluruh murid kelas enam SD
tersebut tertawa terbahak-bahak. Pak Rudof berusaha menenangkan. “Sudah! Sudah!
Apa yang lucu?” Pak Rudof kemudian
menerangkan pembabakan zaman prasejarah berdasarkan geologi, arkeologi, dan
ciri-ciri kehidupan masyarakatnya.
“Nah, berdasarkan ciri-ciri kehidupan
masyarakat, manusia purba dibagi menjadi tiga periode. Pertama, masa berburu
dan mengumpulkan makanan. Kedua, masa bercocok tanam. Ketiga, masa perundagian.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba mulai mengenal
pembagian tugas. Para arkeolog dan antropolog sepakat bahwa dari bukti-bukti
yang ada, menunjukkan perempuan tugasnya berburu, sedang laki-laki menjaga
anak-anak. Dan, ini semakin dipertegas setelah memasuki masa bercocok tanam,
saat manusia purba mulai tinggal di goa-goa. Ada banyak lukisan yang menunjukkan
gambar laki-laki mengasuh anak, sedang perempuan berburu. Maka itu, tak heran,
kenapa saat ini ibu kita yang berkerja mencari nafkah, bukan ayah? Karena sudah
dahulu kala pembagian tugas itu terbentuk. Paham?”
Semua serentak menjawab, “Paham, Pak!”
“Bagus! Nah, sekarang buka halaman 52!”
Ana segera menuju halaman yang
dimaksud Pak Rudof. Sebetulnya, ada yang ingin dia tanyakan kepada gurunya itu
perihal pembagian tugas tadi. Sayangnya, Pak Rudof belum membuka kesempatan
bertanya.
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar