Kamis, 02 Juni 2016

[CERBER] DUNIA FIKSI 1



Suatu pagi Sally membaca surat kabar yang begini isinya:

KOTA Z - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi. Kali ini dialami AP (30), warga Kelurahan X, Kecamatan Y, Kota Z.
Menurut AP, istrinya MS (26) sudah sering melakukan kekerasan fisik pada dirinya, hingga tubuhnya memar dan bengkak-bengkak.
"Sejak kami pacaran hingga usia perkawinan sudah dua tahun lebih ini, tidak jarang dia memukul saya," kata AP, di Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Terakhir, penganiayaan terjadi pagi kemarin di kediaman mereka di E. Dia ditendang, dipukul di bagian kepala, dan dadanya diinjak. Tak hanya itu, korban juga kerap dibenturkan ke tembok dan lantai, lalu diinjak-injak.
"Selama ini saya hanya pendam. Karena tidak tahan lagi, saya pun laporkan ke polisi," jelasnya.
Awalnya, lanjut korban, dirinya berpikir kekerasan fisik yang kerap dialaminya akan berlalu setelah menikah dan dikarunia anak. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
"Dia tidak pernah berubah. Meski kami sudah dikaruniai seorang putra yang kini sudah berusia hampir tiga bulan, tapi sifat ringan tangannya tidak berubah."
Karena tidak tahan disiksa terus, korban pun terpaksa melaporkan perbuatan istrinya itu ke Polresta Z.
"Permintaan saya bukan cerai. Tapi saya berharap dia ditahan agar jera. Mungkin dengan demikian dia bisa berubah," harap korban.
Kasubbag Humas Polresta Z AKP Anna Indigo mengatakan, laporan korban sudah diterima dan selanjutnya akan ditangani Unit Perlindungan Laki-laki dan Anak (PLA) Polresta Z.
"Korban suruh kami datang lagi pada Senin pagi di PLA. Kasus ini akan segera diselidiki."

Sally beralih ke kolom lain. Dia menghela napas membaca satu lagi berita yang begini isinya:

KOTA Z — Kasus pelecehan seksual di dalam bus trans-Z kembali terjadi. Kali ini, pelecehan seksual dialami RA (15), siswa SMA di bilangan Y. Korban mendapat perlakuan tidak senonoh dari LS (29) saat menumpang bus trans-Z Koridor VII (Kampung A-Kampung D).
Beruntung, aksi LS dipergoki Rasyid (35), penumpang lainnya, yang kemudian langsung membawa korban ke Polresta Z.
Diceritakan Rasyid, RA naik trans-Z dari Halte A, sedangkan LS naik dari Halte B. Memanfaatkan situasi bus yang penuh sesak penumpang, LS dilihatnya mulai mendikati korban yang saat itu sama-sama dalam kondisi berdiri. Sejak di kawasan B, LS mulai terlihat menggerayangi bokong dan bagian belakang paha korban.
"Saya memerhatikan gerak gerik yang mencurigakan dari pelaku. Setelah saya dikati, ternyata benar pelaku sedang memegangi bokong korban," ujar Rasyid di Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Dia mendapati aksi bejat LS saat trans-Z berada di Halte C. Dia pun kemudian menangkap tangan pelaku yang tengah memegangi pantat korban sambil membentaknya.
Keruan saja, teriakan itu mengundang perhatian dari penumpang lainnya. LS pun hampir menjadi bulan-bulanan para penumpang. Beruntung, petugas trans-Z berhasil mencegahnya, kemudian membawanya ke Polresta Kota Z bersama RA dan Rasyid.
Di hadapan penyidik, LS tampak lebih banyak terdiam. Namun, RA yang masih mengenakan seragam SMA dengan beberapa helai janggut tipis di dagu mengiyakan saat petugas menanyakan apakah terjadi pelecehan terhadapnya.
"Saya diam karena saya takut, apalagi pelaku terlihat cantik dan ayu, kalau saya teriak semua orang bakal tidak percaya," kata RA.
LS juga sempat menolak tuduhan saksi dan korban bahwa ia telah melakukan pelecehan seksual. Dia mengaku memegang pantat RA karena saat itu terdorong penumpang lain. Terlebih, saat itu bus dalam keadaan penuh.
"Justru saya menghindari bersentuhan dengan korban, tetapi karena penumpang lain terus berdesakan, akhirnya saya pun terdorong," kilahnya.
Bahkan, guna meyakinkan petugas, pelaku siap mencium kaki korban untuk meminta maaf dan meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Karena melibatkan pelajar, oleh petugas, kasus ini kemudian dilimpahkan ke Unit Perlindungan Laki-laki dan Anak (PLA) Polresta Z.

Sally menghempas surat kabar itu di atas meja. “Sial! Seminggu bisa dua kali baca berita kayak begini.”
Tak lama kemudian, Hendro, suami Sally, muncul dari dalam rumah membawa secangkir kopi. “Ada apa toh, Ma? Pagi-pagi sudah masam?”
Sally menerima kopi itu. Segera dihirupnya. Nikmat luar biasa. Hendro memang suami yang pandai. Kalau dipikir-pikir, beruntung sekali dia mendapatkan Hendro. Selain pintar masak, ngasuh anak, Hendro juga hebat di ranjang. “Biasa,” jawab Sally, “berita basi! Agar surat kabar mereka tetap laku.”
Hendro mengernyitkan dahi.
“Iya… berita pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan rumah tangga. Berita-berita seperti itu ditulis besar-besar judulnya oleh redaksi. Agar pembaca tertarik dan mendapat ‘plus-plus’ selain berita politik. Bacalah gaya bertutur mereka, mirip cerpen,” terang Sally. “Eh, anak kita sudah kau mandikan belum? Lima menit lagi aku berangkat.”
Hendro mengangguk. “Itu mereka sedang sarapan. Apa perlu aku buatkan bekal?”
“Oh tidak-tidak. Siang ini aku makan bersama klien.” Sally beranjak dari kursi, mengelap mulut dari sisa kopi, lalu mengecup dagu sang suami. “Ana! Rico! Ayo, Nak!”
Sejurus kemudian, anak-anak mereka keluar dari dalam rumah. Hendro mencium satu-satu pipi mereka. Sambil melambaikan tangan melihat mobil yang keluar pagar, Hendro berteriak, “Semoga hari ini menyenangkan! Papa mencintai kalian!”

****

Mobil mereka bergerak pelan memasuki jalan protokol Kota Z. Baru beberapa meter, telah terjadi kemacetan. Sally mendengus, kenapa bertahun-tahun pemerintah belum dapat juga menyelesaikan persoalan ini? Bertahun-tahun, ulangnya. Ana yang duduk di sampingnya hanya tersenyum dan berupaya menghibur.
“Kemarin Pak Rudof mendongeng di kelas. Dongeng Aladin. Katanya, Aladin punya kendaraan unik, yakni karpet terbang. Kira-kira di mana tempat menjual karpet terbang itu ya, Ma?”
Rico yang awalnya hanya duduk manis di kursi belakang mendadak nimbrung. “Betulkah? Ada kendaraan semacam itu? Apa namanya tadi? Karpet terbang?”
“Hmmm…,” Sally menggumam, “Iya, karpet terbang, Sayang. Tentu saja ada.”
Ana dan Rico terbelalak. Mereka memusatkan perhatian dan menunggu kata-kata selanjutnya dari Sally. Tentu saja, Sally sebetulnya sudah tidak dapat menahan tawa melihat dua buah hatinya itu memakan umpannya.
“Kita bisa menemukannya di…”
“Iya, di…” kata mereka serentak.
“Di dalam mimpi!”
“Yah…” Ana dan Rico lesu. Lalu, mulai tertawa terbahak-bahak. Mama mereka suka jahil. Tapi anehnya, mereka selalu menikmati kejahilan itu.
“Mama,” kata Rico. “Naik kelas tiga nanti aku mau les balet. Teman-temanku sudah banyak yang les balet.”
“Aku juga,” sambar Ana. “Aku mau masuk tim sepakbola.”
Sally membelokkan mobilnya keluar dari jalan protokol. Beberapa kilo lagi mereka sampai di sekolah. Sally menurunkan gas, dan mulai bicara. “Kamu yakin mau les balet? Sudah kau ceritakan pada Papa? Soalnya dia belum bicara apa-apa pada Mama. Kalau boleh usul, kenapa tidak les musik saja, Sayang?”
“Nggak ah! Aku nggak suka musik. Aku mau nari.”
“Oke, nanti kita diskusikan lagi sama Papa. Dia yang mengatur keuangan kita. Lalu, kau Ana, badanmu kurus begitu mau masuk tim sepakbola. Apa tidak takut cedera?”
“Di mana-mana tiap olahraga ada resikonya, Ma. Percaya saja sama Ana deh.”
Tanpa terasa, mereka telah di depan pintu gerbang sekolah. Kedua buah hatinya itu siap-siap turun. “Belajar yang benar ya,” kata Sally. “Ingat! Kalian nanti dijemput Papa. Jangan coba-coba pulang sendiri. Kalau memang ada belajar kelompok atau kegiatan sekolah, beritahu Papa. Karena dia paling mencemaskan kalian. Mengerti!” Ana dan Rico mengangguk, kemudian keluar dari mobil setelah mencium tangan Sally, satu-satu.

****

Setumpuk kegiatan telah menanti Hendro. Mulai dari masak, cuci pakaian, belanja, hingga membersihkan rumah. Kegiatan-kegiatan itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Sebelum menikah, dia dan Sally memang membuat kesepakatan bahwa satu-satunya yang mencari nafkah adalah Sally, sedang urusan rumah tangga dan tetek bengek lainnya jatuh ke tangannya.
Hendro mulai mencatat bahan-bahan yang akan dibelinya di supermarket. Dia teringat Ana dan Rico yang minta dibuatkan rica-rica. “Ah ya, daging ayam.” Lalu membereskan diri seadanya dan berangkat.
Di luar pagar, dia berjumpa Kastadi−tetangga supel yang menjadi teman akrabnya. Kastadi tampak memegang keranjang di tangan kanannya. Hendro segera paham. “Ayo bareng. Ini hari baik, bukan?”
Sepanjang perjalanan menuju supermarket mereka bicara banyak hal. Mulai dari kabar angin Si Kadir yang katanya tak tahan dengan perlakuan istrinya yang buruk, hingga perceraian artis yang terjadi bak cendawan di musim penghujan.
“Memang dua cukup?” tanya Kastadi, mulai memilah-milih sayur di supermarket.
“Apanya?”
“Momongan. Masak cabe!” Mereka berdua tetawa terbahak-bahak.
“Oh! Aku sih pengen banyak. Tapi ndak tahu istriku, dia sepertinya kurang berkenan.”
“Kenapa tidak dijebak aja?”
“Hush! Kalau bikin anak itu jangan main enak sendiri.”
“Oalaa… nanti juga kalau berisi, kan, tetap dirawat.”
“Memang. Tapi ndak seru, kalau merawatnya entar setengah hati? Kamu sendiri ndak nambah?” Hendro memasukkan sayur-sayuran ke keranjang. Kemudian berpindah ke area daging. Dia menunjuk potongan ayam kepada pramusaji. Memeriksanya, dan minta ditimbang.
“Kami berencana tahun depan. Istriku masih berusaha mengumpulkan uang agar tidak memberatkan nanti. Kau tahulah, ada empat kepala yang harus dia beri makan.”
“Kenapa kau tidak kerja saja?” tanya Hendro, kali ini memandang Kastadi lekat-lekat.
“Aku sudah utarakan. Ya… akhirnya dia memperbolehkan juga. Tapi tetap dengan syarat, mencari uangnya cukup di rumah. Seperti membuka kursus, atau usaha katering dan lainnya.”
“Bagus itu. Aku suka. Suami harus pula kreatif. Kalau mau buka kursus. Kursus apa memang?”
Kastadi mendengus, “Hmmm… kau pasti tidak percaya.”
“Apa memang?”
“Menjahit.”
“Kau bisa menjahit rupanya?”
“Bukan lagi bisa, tapi mahir.”
“Wah, kalau begitu sebaiknya buka butik saja. Aku kenal beberapa orang yang bagus buat kau jadikan asisten.”
“Saran yang bagus. Tapi aku butuh persetujuan istiku dulu.”
Mereka menuju kasir. Mengantri, lalu meletakkan satu-satu belanjaan mereka di meja. Kasir tersebut segera menghitungnya. Sembari menunggu total, Hendro menanyakan kontrasepsi, tanpa memedulikan bahwa kasir tersebut turut mendengar.
“Menurutmu, kontrasepsi apa paling baik?”
“Buat siapa dulu, nih?”
“Keduanya boleh.”
“Buat suami, kondom. Buat istri, pil KB.”
“Selain kondom?”
Kastadi mengangkat kedua bahunya, “Tidak ada yang lebih baik.”
“Aku benci kondom. Membuatku tidak leluasa.”
“Tetapi itu berguna mencegah kehamilan.”
“Tentu saja, tapi aku enggan memakainya.”
“Oh, jadi selama ini kau hanya mengandalkan istrimu saja? Itu masih beresiko.”
Hendro menyerahkan kartu kredit miliknya kepada kasir. “Biarlah! Toh, aku sudah mengingatkan Sally untuk mengonsumsi pil KBnya setiap hari.”

****

Ketika bel istirahat berdering keras, seluruh siswa di sekolah dasar di Kota Z berhamburan menuju kantin. Bahkan, sebagain ada yang berlari seakan takut tidak kebagian tempat. Ana perihatin menyaksikan itu setiap hari. Dalam kepalanya, coba saja kalau mereka membawa bekal, maka tidak perlu betul berebutan seperti itu. Dia memilih duduk pada sebuah bangku di bawah pohon. Membuka bekalnya. Cindy dan Putri segera bergabung.
“Kali ini papaku menyiapkan sandwich dan kacang polong. Sungguh bekal yang hebat!” kata Ana, meluap-luap.
Cindy dan Putri lalu membuka pula bekal mereka. Dengen ekspresi mau muntah, keduanya berkata, “Bekal yang buruk!”
“Memang apa yang kamu bawa?”
“Kue lupis. Aku benci kue lupis. Terlalu manis,” jawab Cindy.
“Kamu?”
“Mi instan! Begini nih kalau Umi yang menyiapkan bekal,” rutuk Putri, seakan merindukan sosok abinya.
Mereka tertawa.
“Ngomong-ngomong. Kamu jadi daftar di kesebelasan Esa?” tanya Cindy, sambil berupaya keras menghabiskan kue lupisnya.
“Entahlah. Pagi tadi aku sudah utarakan pada mamaku. Mungkin dia akan memberi jawaban besok.”
Dari kejauhan, mereka melihat anak laki-laki sibuk main lompat karet di halaman sekolah. Sedang, anak perempuan hampir seluruhnya asyik main kelereng. Sekarang, memang lagi musim kelereng. Ana memiliki banyak koleksi kelereng di kamarnya.
“Mau main?” tanya Putri.
“Siapa takut!”
Mereka kembali ke kelas dan mengambil kelereng masing-masing di tas.

****

Brosur les balet yang dibawa Andi hari ini begitu menggodanya. Gambar-gambar penari balet yang sedang melenggak-lenggok bak angsa yang dilihatnya saban hari di danau kota membuatnya berfantasi. Bagaimana kalau itu aku? Mama dan Papa pasti bangga. Oma akan rela datang dari jauh demi melihat aksi panggungnya. Dan setelah turun, omanya itu akan berkata, ‘Cucuku luar biasa. Itu adalah penampilan terbaik yang pernah aku lihat.’ Dia senyum-senyum sendiri membayangkan itu. Membuat Andi keheranan.
“Bagaimana? Jadi daftar?”
“Tentu,” kata Rico, mengalihkan kembali sorot matanya pada Andi. “Tinggal menunggu waktu.”
“Baguslah. Aku senang bila kau turut bergabung.”
Tepat di depan mereka, tiga orang anak laki-laki berpakaian modis, melintas. Mereka sama sekali tidak melirik ke arah Rico dan Andi.
“Sombong sekali orang itu!” Andi bersungut. “Mereka pikir, mereka paling ‘wah’ begitu. Aku sungguh malas bila bertemu mereka lagi di tempat les. Mereka selalu minta diperhatikan lebih oleh instruktur, seakan mereka membayar paling mahal saja.”
“Maksudmu, Brio, Michael, dan Steve juga ada di sana?”
Andi mengangguk.
“Menarik!”
“Apa yang menarik?”
“Artinya kita punya rival. Omaku bilang, rival penting untuk meningkatkan kesungguhan kita.”

****

Setelah bergumul melawan macet berjam-jam, Sally tiba di kantor. Pertama-tama, yang dilakukannya adalah bertanya kepada resepsionis: Apa bos sudah datang? Kalau sudah, dia akan menyiapkan alasan tepat mengenai keterlambatannya. Tapi syukurlah, si resepsionis bilang bahwa bos belum datang. Membuatnya merasa sedikit lega.
Baru saja dia duduk di kursinya, Prisly datang mendekat sambil menjulurkan tangan meminta berjabat. “Selamat!”
“Atas apa ini?”
“Kau serius tidak tahu?”
Sally berupaya mengingat. Rasanya dia tidak berulang tahun hari ini. Memenangi lotere pun mustahil karena dia belum pernah memasang lotre di kasino kota Z, seperti teman-teman lain.
“Katakan apa? Aku malas bermain misteri.”
“Baiklah,” kata Prisly, merasa menang, “Tapi kau harus janji bahwa kau akan mengadakan perayaan.”
“Ya! Apa?” Sally mulai hilang kesabaran.
“Mulai besok kau akan menempati posisi baru.”
“Apakah sebagai satpam? Aku akan menolaknya.”
Prisly tertawa. Dia terkejut mendengar jawaban Sally. “Kau masih bisa bercanda ya di saat seperti ini. Baiklah, aku katakan saja, sebagai Manajer Divisi I.”
Sally terbelalak. Bukankah Manajer Divisi I adalah posisi yang paling didamkan banyak orang? Bila sudah menempati posisi itu, perihal gaji sangat terjamin. Bahkan, dengar-dengar dari selentingan orang, cukup empat tahun saja menjabat sudah dapat membeli satu buah vila di bukit M. Hanya saja, kesibukan yang didapat betul-betul luar biasa. Tapi, apalah arti sibuk empat tahun, bila nantinya mendapat kesenangan sepuluh tahun.
“Kau tidak bercanda, kan?”
“Tentu saja. Aku sebetulnya enggan memberitahumu. Bos menginginkan pengumuman ini di pertemuan nanti. Tapi aku cemas, takutnya kau pingsan. Dan, itu bisa membuat repot banyak orang. Makanya, aku kasih tahu saja sekarang. Hehe.”
Sally menyikut lengan Prisly, “Bisa saja kau!”
“Ayo, cepat! Siapakan materimu. Bentar lagi kita presentasi.”

****

Sembari menunggu Bos memasuki ruangan, Sally membuka akun twitternya. ‘Ricardo Prayitno’ mendadak menempati peringkat atas topik pembicaraan pagi ini. Dia sudah tahu, kenapa Putra Negeri Z 2095 tersebut mendadak dibicarakan banyak orang. Pasti, perihal buka-bukaan yang dilakukan Putra Kota Z tersebut dalam ajang Mister Universe.
“Duh, tiap tahun selalu begini,” rutuk Sally.
“Kenapa? Perihal Mister Universe, ya?” tebak Prisly, seakan tahu isi kepala sahabatnya itu.
“Tidak lain. Menurutmu bagaimana artikel ini?” Sally menyerahkan tabletnya pada Prisly.

KOTA Z – Berhasil melenggang mengikuti kompetisi Mister Universe, merupakan tantangan tersendiri bagi Putra Negeri Z 2095, Ricardo Prayitno.
Selain harus mempersiapkan diri dan potensi terbaik untuk bersaing dengan kontestan lain yang berasal dari beberapa negara. Ricardo juga mesti menguatkan mental dalam mengikuti kompetisi busana swimwear yang merupakan tahapan wajib dalam ajang Mister Universe.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Ricardo tentunya reaksi penolakan sebagian besar masyarakat Negeri Z mengenai kompetisi busana swimwear itu sendiri.
Mau tidak mau, untuk lancar menjalani masa karantina menuju malam final Mister Universe 2095, Ricardo memang harus mengenakan dan mengikuti kompetisi berbusana swimwear.
Menurut Ricardo, kompetisi dan foto swimwear jangan dilihat dari luar saja. Namun, masyarakat juga harus menghargai niat baik dan perjuangan para Putra Indonesia yang wajib melewati tahapan itu demi mengharumkan nama Negeri Z dalam kancah internasional.
"Foto swimwear jangan dilihat swimwearnya saja, lihat niat baik di baliknya. Dia (Putra Negeri Z) harus memakai swimwear untuk ikut kompetisi," ujar Cipto, Dirut Putra Indonesia, ditemui dalam acara peluncuran jam tangan La Mer di SKYE, Kota Z beberapa waktu lalu.
Menanggapi reaksi penolakan dari sejumlah pihak mengenai pria Negeri Z mengenakan swimwear dalam ajang Mister Universe. Ricardo menuturkan jawaban bijak dan tidak berpihak.
"Saya tidak akan bisa memaksa kehendak semua orang. Karena penduduk Negeri Z ada banyak. Ada seratus juta lebih," imbuhnya.
"Seperti saya hanya foto dengan swimwear memang untuk kompetisi, di luar itu kan tidak pernah lagi. Apa yang harus dilakukan memang perlu dilakukan," pungkas Ricardo sebelum keberangkatannya.

Prisly mengembalikan lagi tablet itu pada Sally. “Menurutku jelas, swimwear adalah bagian dari rangkaian kompetisi tersebut. Lalu, untuk apa dipersoalkan? Kalau tidak mau ikuti rangkaiannya, ya… tidak usah kirim. Terima saja, bahwa kita melewatkan lagi kesempatan besar untuk mempromosikan Negeri Z pada dunia.”
“Sepakat! Tapi, bagaimana menjawab ‘Kenapa perlu buka-bukaan begitu? Kalau dieleminir, kan, tetap tidak mengurangi esensi kompetisi?’”
“Aku mengerti. Hanya, aturan itu dibuat berdasarkan kesepakatan seluruh anggota. Lagi pula, di mana-mana pria adalah media tepat membujuk kaum investor. Bahkan, sejak zaman kuno.”
“Berarti pria itu komoditas dong?”
“Mau tidak mau,” jawab Prisly, mengangkat bahunya. “Bagian dari evolusi.”

****

Hendro menghepas tubuhnya ke sofa. Hembusan angin dari kipas di atas kepalanya segera menyerbu pori-pori rambutnya. Kota Z panas sekali bila siang. Apalagi diperparah emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang tumpah ruah sepanjang jalan. Rasa-rasanya, untuk menuju Kota Z yang sehat 2099, hampir mustahil.
Setelah sedikit sejuk, Hendro beranjak ke dapur. Dikeluarkannya satu-satu belanjaannya tadi, lalu ke ruang keluarga, menyalakan tivi, dan memotong-motong bahan untuk membuat rica-rica kesukaan Ana dan Rico.
Tiba-tiba dia teringat perkataan Kastadi di supermarket. Putra yang Ditukar akan memasuki episode terakhir. Dia merasa menyesal melewati tiga episode sebelumnya. Kastadi bilang, pada tiga eposide itu, mulai terungkap bahwa Sunaryo bukan anak dari Retno dan Zali. Sunaryo hanyalah korban kejahatan seorang juru rawat laki-laki yang memendam amarah pada Lili─ibu Sunaryo sebenarnya─karena pernah menolak cinta juru rawat itu. Di sisi lain, Lili sulit melepas Leo, walau dia tahu, Leo bukan anak kandungnya. Tapi dia merasa, Leo dibesarkan olehnya. Dialah yang merawat dan memberi pendidikan hingga Leo mencapai impiannya. Namun, melirik kondisi Sunaryo yang miskin, rasanya tidak adil juga membiarkan anak kandungnya itu tetap bersama keluarga Retno dan Zali. Sehingga, konflik batin pun berkelindan.
Kringgg!!! Kringgg!!!
Dengan sedikit menggerutu, Hendro menyeret kakinya menuju pesawat telepon. “Ya?”
“Dik Hendro? Ini saya, Pak Putu.”
“Oh, Pak Putu. Apa kabar, Pak? Ada apa gerangan menelepon siang begini?”
“Wah, maaf ya Dik, bila saya mengganggu aktivitasnya. Saya sebetulnya─”
“Oh nyantai saja, Pak,” potong Hendro yang menyiratkan bahwa dia tidak mau berbasa-basi lagi. “Katakan saja apa yang bisa saya bantu?”
“Begini Dik. Si Lela sepanjang hari ini tidak enak badan. Saya takut terjadi kenapa-kenapa. Maka itu, saya ingin mengajaknya berobat. Tapi saya tidak memiliki kendaraan. Kendaraan kami, yang hanya satu-satunya itu, sedang dipakai istri saya kerja. Boleh tidak Dik, saya pinjem dulu motornya? Saya janji ganti minyaknya nanti.”
“Oh, tidak perlu begitu Pak,” jawab Hendro, lugas. “Jangan sungkan memakainya. Pakai saja sesuka hati. Tapi−“ suara Hendro agak tertahan. “Kalau bisa, usahakan pukul satu siang ini kembali ya, Pak. Soalnya mau jemput Ana dan Rico.”
“Pasti Dik! Saya akan kembali sebelum pukul satu siang. Terima kasih sekali ya Dik. Pak Hendro memang tetangga─”
“Oke! Ambil saja motor dan kuncinya di rumah.”
“Baik Dik! Terima kasih sekali lagi.”
Klekkk!!!

****

Setelah menaruh buku ajarnya di atas meja, Pak Rudof menyambar kapur dan menulis sebuah tema yang akan dibahasanya hari ini: Manusia Purba.
“Sebelum kita masuki materi. Bapak ingin tanya dulu, siapa di sini yang pernah berkunjung ke Museum Purbakala E?”
Hampir sebagian siswa menunjuk, termasuk Ana.
“Ana!” seru Pak Rudof. “Bagaimana rupa manusia purba di museum itu?”
Ana berupaya mengingat. “Kulit mereka hitam dan ditumbuhi banyak bulu. Mereka tidak berpakaian. Yang laki-laki, banyak janggutnya. Sedang perempuan, rambut mereka kusut.”
Seketika, seluruh murid kelas enam SD tersebut tertawa terbahak-bahak. Pak Rudof berusaha menenangkan. “Sudah! Sudah! Apa  yang lucu?” Pak Rudof kemudian menerangkan pembabakan zaman prasejarah berdasarkan geologi, arkeologi, dan ciri-ciri kehidupan masyarakatnya.
“Nah, berdasarkan ciri-ciri kehidupan masyarakat, manusia purba dibagi menjadi tiga periode. Pertama, masa berburu dan mengumpulkan makanan. Kedua, masa bercocok tanam. Ketiga, masa perundagian. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba mulai mengenal pembagian tugas. Para arkeolog dan antropolog sepakat bahwa dari bukti-bukti yang ada, menunjukkan perempuan tugasnya berburu, sedang laki-laki menjaga anak-anak. Dan, ini semakin dipertegas setelah memasuki masa bercocok tanam, saat manusia purba mulai tinggal di goa-goa. Ada banyak lukisan yang menunjukkan gambar laki-laki mengasuh anak, sedang perempuan berburu. Maka itu, tak heran, kenapa saat ini ibu kita yang berkerja mencari nafkah, bukan ayah? Karena sudah dahulu kala pembagian tugas itu terbentuk. Paham?”
Semua serentak menjawab, “Paham, Pak!”
“Bagus! Nah, sekarang buka halaman 52!”
Ana segera menuju halaman yang dimaksud Pak Rudof. Sebetulnya, ada yang ingin dia tanyakan kepada gurunya itu perihal pembagian tugas tadi. Sayangnya, Pak Rudof belum membuka kesempatan bertanya.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar