KELANJUTAN DF2...
Sally bersiap-siap pulang. Sebelum
itu, dia menyambangi ruang Ibu Suwarti sebagaimana diminta beliau waktu meeting. Diketuknya pintu ruang bosnya itu
tiga kali, lalu masuk.
“Sally,” sapa Ibu Suwarti, semringah.
“Mari duduk!”
Sally menuju kursi yang berhadapan ke
meja beliau. Tapi, dengan tangkas Ibu Suwarti membawanya ke sofa. “Kita ngobrol
di sini saja. Lebih enak.”
Ibu Suwarti merapatkan dirinya ke
Sally. “Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu. Tapi sebelum itu, apakah kamu
orang yang bisa dipercaya?”
Sally mendehem sejenak. “Aku tidak
berani mengaku sebagai orang yang bisa dipercaya. Tapi sejauh ini, aku tidak
pernah membocorkan rahasia perusahaan kepada siapa pun.”
Ibu Suwarti tertawa. “Aku suka
jawabanmu. Baiklah, ini perihal sekretarisku, Agus. Apa dia pernah mengutarakan
kepadamu bahwa dia ingin keluar dari perusahaan ini?”
Sally memikirkan jawaban tepat. Dia
tidak mau gegabah menjawab pertanyaan Ibu Suwarti. Bisa jadi, pertanyaan tadi
memiliki maksud tertentu. “Agus orang tertutup,” kata Sally, dengan suara
didalam-dalamkan. “Dia jarang sekali bicara mengenai kehidupannya. Semua orang
di kantor tahu akan hal itu. Ada apa memangnya? Sehingga Ibu menanyai itu.”
Sally balik menyerang, demi mengetahui modus Ibu Suwarti mengajukan pertanyaan
tadi.
“Tidak apa-apa!” Ibu Suwarti tertawa
seperti dibuat-buat. “Aku merasa, akhir-akhir ini Agus mengendur kinerjanya.
Kau mengerti, kan? Kalau ada pegawai yang mulai malas, kadang itu sebagai tanda,
bahwa dia sudah tidak suka lagi pada perusahaan.”
Tapi Sally tidak gampang percaya. Dia
yakin pasti ada sesuatu yang terjadi antara Ibu Suwarti dan Agus. Mungkin affair. Atau, lebih buruk, pelecehan
seksual.
“Aku juga rasakan begitu,” kata Sally,
seolah-olah membenarkan. “Agus makin sedikit bicara. Dia hanya bicara bila
berkenaan pekerjaan. Apa perlu kita cari tahu? Barangkali dia dalam keadaan
tertekan. Dan, dia belum menemukan orang tepat untuk mencurahkan hatinya.”
“Jangan!” Tiba-tiba Ibu Suwarti
mencegah.
Sally memasang wajah bingung.
“Bukan, maksudku, sebaiknya kita
jangan campuri dulu,” Ibu Suwarti berupaya mengendalikan diri. “Biarkan dia
menemukan solusi sendiri. Apabila dalam dua minggu ke depan, dia tetap murung,
aku sendiri turun tangan. Oke? Jangan ikut campur.”
Akhirnya, karena perbincangan selesai, Sally
minta diri. Setelah dia kembali ke mejanya, banyak hal yang dia pikirkan dari
perbincangan tadi. Entah kenapa dia yakin bahwa Agus mendapat pelecehan seksual
dari Ibu Suwarti. Malangnya, ketika Agus berupaya mencurahkan hatinya, dia
tidak peka. Bahkan, menganggap Agus plin-plan. Kini, dia merasa bersalah. Dalam
hatinya, mengebu-gebu untuk menemui Agus segera. Tapi bukan di sini, terlalu
bahaya, mata Ibu Suwarti di mana-mana, salah langkah sedikit saja, karir dan
semua hal yang telah dibangunnya di perusahaan ini dapat hancur seketika. Dia
memeriksa nomor Agus di handphone. Diketiknya beberapa kalimat, dan send. Lalu meninggalkan kantor.
****
Suara derum motor terdengar memasuki
halaman rumahnya. Hendro mengintip dari celah-celah kaca: ternyata Pak Putu,
yang dengan santainya turun dari motor dan mengetuk pintu rumah.
“Dik Hendro!” serunya, “Ini saya, Pak
Putu!”
Karena belum mendapat jawaban, diulangnya
lagi kalimat tadi.
“Dik Hendrooo! Apa kamu di dalam?”
Hendro akhirnya membuka pintu. Pak
Putu seketika tersenyum. “Aduhhh!,” kata Pak Putu, menepuk-nepuk jidatnya. “Maaf
sekali ya Dik. Motormu baru saya kembalikan sekarang. Tadi di kota, macetnya luar
biasa. Kami tidak bergerak sama sekali. Para pendemo itu betul-betul sialan.
Mereka memblokir jalan. Untung, setelah dua jam kami terjebak, polisi datang
dan membubarkan pendemo itu. Tapi sayangnya, baru beberapa meter kami melaju,
ban depan motor bocor. Barangkali terinjak paku yang sengaja dipasang pendemo. Saya
dan Lela terpaksa mendorong motor sejauh satu kilo ke tampal ban. Setelah
ketemu, eh, si tukang tampal bannya sedang keluar pula. Tidak ada cara lain
kecuali menunggu. Saya kasihan sekali pada Lela. Padahal, dia sedang sakit,
namun harus mendapat penderitaan sedemikian berat ini.”
“Ah ya,” Pak Putu melanjutkan. “Mana
Ana dan Rico? Saya ingin memberi ini.” Pak Putu menyodorkan bingkisan pada
Hendro. Hendro segera tahu isinya gorengan. “Sebagai permintaan maaf,” katanya,
sambil terkekeh.
“Saya dengar Pak Warjo ketemu Pak Putu
di mall, benar?”
Pak Putu gelagapan. “Ketemu di mall,”
ulangnya. “O iya. Kami ketemu di mall. Tapi jangan salah sangka dulu. Jadi,
sehabis menampal ban, saya baru menyadari kalau saya kekurangan uang. Maka itu,
saya pergi ke mall, mencari anjungan tunai mandiri.”
“Lalu, karena sudah di mall, tak lupa
membelikan Lela es krim, begitu?”
“Es krim,” Muka Pak Putu bertambah pucat. “Nah,
itu dia. Saya marah sekali pada Lela. Padahal dia sedang sakit, tapi dia ngotot
minta es krim. Saya katakan baik-baik padanya, ‘Lela, kamu itu sedang demam, dilarang
minum yang dingin-dingin.’ Tapi apa yang terjadi, dia malah menangis, dan
membuat semua orang memperhatikan kami. Katanya, kalau saya masih enggan
membelikan es krim, dia tidak akan beranjak dari mall, dan terus menangis.
Sehingga, terpaksalah saya belikan. Anak-anak memang begitu ya, Dik. Mereka
sulit sekali diberi pengertian.”
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan, Pak Putu
mendikatkan mulutnya ke telinga Hendro. “Saya bukan bermaksud menjelek-jelekkan
orang ya, Dik. Tapi asal tahu saja, Pak Warjo itu sepertinya benci sekali sama
saya. Di depan saya saja dia kelihatan bermanis-manis. Padahal, saya tahu, di
belakang saya, dia sering bicara buruk-buruk tentang saya ke semua orang.
Hingga sekarang, saya tidak habis pikir, apa salah saya padanya? Kalau saya ada
pesta, Pak Warjo selalu kami undang. Kalau kami sedang membuat kue atau suatu
apa pun, Pak Warjo selalu kami bagi. Tapi kenapa dia membalasnya kayak begini,
ya? Apa mungkin dia iri pada kehidupan kami. Eh, dengar-dengar, kata Pak Karim,
Pak Warjo itu memang suka syirik. Pernah waktu itu, saat Pak Karim beli mobil
baru, Pak Warjo malah bilang ke tetangga, ‘Uang korupsi dari mana lagi tuh.’
Ih, amit-amit. Bukan memberi ucapan selamat,
namun berburuk sangka.”
“Sekedar saran saja ya, Dik,” Pak Putu
menampakkan wajah serius. “Orang kayak begitu nggak perlu didengari. Dia itu
hanya perusak kerukunan dan keharmonisan di kompleks kita. Saya saja,
akhir-akhir ini, mulai menghindari Pak Putu. Kalau ada pertemuan, semisal
arisan, saya nggak mau datang kalau ada dia di sana,” katanya, sembari
mengembalikan kunci motor dan minta diri.
****
Sebelum menuju rumah, Sally mampir ke toko
buku. Dia ingin membeli sebuah novel untuk Hendro. Novel yang digadang-gadang
menyuarakan pria. Berbagai ulasan menyebutkan bahwa penulisnya adalah seorang
maskulinis. Novel yang akan dibelinya ini adalah representasi dari pengalaman
si penulis dalam membongkar hegemoni wanita.
“Menarik,” gumam Sally, membolak-balikkan
sampul buku itu.
Ketika menuju kasir─hendak membayar,
Sally dihentikan SPB (Sales Promotion Boy). SPB itu menawarkan produk El-men, susu
yang memicu terbentuknya otot tubuh pada pria. Sally jengah mendengar bualan produk
tersebut. Dia mencintai Hendro bukan karena fisik, melainkan karakternya. Maka
tak perlu benar memaksa Hendro yang pada dasarnya kurus menjadi atletis agar
dia birahi. Sally menolaknya dengan halus.
“Delapan puluh ribu,” kata kasir,
sambil memasukkan buku yang dibeli Sally dalam kantong plastik.
Sally merogoh dompetnya. Sebelum
memberi uang itu, dia mengambil sebuah majalah Men’s Fashion di rak dikat kasir. “Hitung ini juga!”
Selagi menunggu uang kembalian, Sally
membayangkan bahwa Hendro pasti suka dengan belanjaannya, terutama majalah Men’s Fashion. Semenjak mereka menikah, Hendro
semakin gila fashion. “Baiknya kamu
memakai blues biru ini Ma. Tidak! Jens itu jangan dipadu dengan kemeja putih.
Oh, rok merah ini baiknya dipakai hari senin.” Begitulah Hendro setiap hari
memperhatikan penampilan Sally. Saat pesta, Hendro selalu tampil luar biasa.
Hampir semua wanita melirik padanya. Kalau sudah begitu, Sally hanya bisa
tersipu, menerima pujian betapa beruntung dirinya mendapatkan pria semodis Hendro.
“Ya, Halo!” Sally menerima panggilan
dari ponselnya.
“Kau di mana?”
“Di jalan. Mengendarai mobil. Menuju
rumah.”
“Bisa ke markas. Penting!”
“Tunggulah 15 menit lagi.”
Sally terpaksa memutar arah. Kembali
ke kota. Dia bertanya-tanya: Ada apa gerangan sehingga Prisly memintanya ke markas.
Apa persoalan kemarin, saat Prisly mengatakan bahwa Hana sedang ditimpa
kesulitan. Sally menekan tombol ponselnya menghubungi Hendro, dan mengatakan
bahwa dia telat pulang. Di ujung saluran, Hendro hanya menjawab seraya
menggerutu, “Apa boleh buat. Kami terpaksa makan malam tanpamu lagi.”
****
“Kita terpaksa makan malam tanpa Mama lagi,”
kata Hendro, menghela napas.
“Kenapa bisa?” tanya Ana.
“Mungkin Mama ada pertemuan dengan
kliennya. Dan, biasanya akan sekaligus makan malam.”
Hendro lalu mengajak kedua buah
hatinya itu ke meja makan. Sebagaimana biasanya, Hendro menyapikan nasi untuk
mereka. Tentu saja, sesuai porsi yang sudah dihafalnya.
“Aku benci Mama,” kata Rico, membuat
Hendro terkejut.
“Kenapa kau bilang begitu, Rico?”
“Habisnya, Mama selalu tidak punya
waktu buat kita. Padahal, Rico ingin bicara banyak sama Mama.”
Hendro menghentikan suapannya.
Ditatapnya dalam-dalam kedua buah hatinya itu, terutama Rico. “Dengar! Kalian
harus tahu. Kesibukan Mama adalah untuk kebaikan kita juga. Dia yang mencari
nafkah. Kalian bisa sekolah, makan enak, berpakaian bagus, dan tumbuh sehat
seperti ini berkat Mama. Tanpa Mama, mungkin kita saat ini sudah menggelandang.
Jadi, jangan katakan suatu apa pun yang buruk tentang Mama. Kalau dia bisa
memilih, dia sebetulnya ingin menghabiskan waktunya bersama kalian. Tapi tidak
mungkin, karena dalam benakknya, kalian mesti bersekolah, dan menjadi orang
yang sukses. Maka itu, dia bekerja mati-matian buat kalian. Paham?”
Ana dan Rico terdiam. Tanpa banyak
bicara lagi, mereka meneruskan makan malam. Hendro tertegun. Kalau boleh jujur,
dia pun sebetulnya bersedih. Akhir-akhir ini, Sally gemar sekali absen saat
makan malam. Padahal, menurutnya, makan malam adalah saat terbaik bercengkerama.
Anak-anak bisa menceritakan kesehariannya di sekolah. Sedang, orangtua akan
mendengarkan cerita mereka, lalu sesekali menimpali, membuat guyonan, dan
nasihat-nasihat yang bermanfaat.
Tapi dia harus tegar. Bagaimana pun,
dia harus mempertahankan wibawa istrinya di depan anak-anak. Jangan sampai,
perihal ini, Sally kehilangan rasa hormat dari anak-anak. Seperti dialami
banyak keluarga yang sering dilihatnya di tivi. Gara-gara si anak tidak
menghormati lagi si ibu, si ibu akhirnya memukuli si bapak karena dianggap
tidak becus mengurus si anak. Dan, terjadilah KDRT. Dia takut sekali hal itu
menimpa keluarganya. Walau dia yakin, Sally tidak akan melakukan itu.
****
Tempat pertemuan mereka terbilang
mewah. Memiliki live music dan aneka
masakan dunia. Apabila ingin bicara empat mata, tanpa terganggu keriuhan,
tempat itu menyediakan kamar-kamar pertemuan. Biasanya hanya tamu yang penting
saja yang menggunakan kamar itu. Selain ongkos sewa yang mahal, tidak sembarang
orang dapat menyewanya. Beruntunglah, mereka adalah tamu setia dan sudah
dikenal sang pemilik. Sehingga mudah memintanya sewaktu-waktu, termasuk untuk urusan
malam ini.
“Bagaimana di jalan tadi?” kata
Prisly, menyilakan Sally duduk dan melihat-lihat daftar menu. Hana hanya diam,
tanpa ekspresi.
“Seperti bisa,” jawab Sally, “macet.” Dia
kemudian memesan tuna segar kepada pelayan.
“Ah ya, aku betul-betul minta maaf,” kata
Prisly. “Karena kami, kau melewatkan makan malam lagi bersama keluargamu.”
“It’s
oke!” tukas Sally. “Itulah guna sahabat. Apa yang ingin kalian bicarakan?”
Prisly menyikut Hana. Seketika, Hana
terjaga dari lamunannya. Ditatapnya dalam-dalam Sally, dari ujung matanya tiba-tiba
keluar bulir air. Sally cepat menangkap: ada yang tidak beres. Sally meyakinkan
Hana bahwa dia siap membantu. Hana pun mulai menceritakan semua hal yang melandanya.
Satu persatu. Sampai tiba pelayan mengetuk kamar dan meletakkan makanan yang
mereka pesan.
“Aku akan memberi saran sebagai
sahabat,” kata Sally, selesai pelayan tersebut menutup kembali pintu kamar.
“Walaupun begitu, keputusan tetap ada di tanganmu. Ini adalah hidupmu. Kau
sendiri yang harus ketuk palu. Dan, saranku adalah terima masa lalunya.”
“Maksudmu menerima bahwa dia tidak
perjaka lagi?”
“Hei, kau menikah karena perjakanya
atau orangnya, sih? Kalau yang kau cari perjakanya, tinggalkan dia! Cari yang
masih perjaka. Simpel, kan? Tapi kalau kau mencintai karena orangnya, kau tidak
boleh semena-mena. Ayolah! Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Han. Kau pasti
pernah melakukannya juga, kan? Tapi kenapa kau sulit menerima saat calon
pasanganmu melakukan itu. Dalam perspektifku, dia telah berusaha jujur padamu,
sebagai bukti cintanya, sebelum kalian menikah.”
Sally melanjutkan lagi. “Betul bahwa
laki-laki seharusnya menjaga keperjakaan mereka,” kali ini berusaha lebih
bijak. “Tapi rasanya tidak adil bila kau menilai baik atau buruknya seseorang
berdasarkan perjaka. Bisa jadi ketidakperjakaan calon pasanganmu saat ini telah
memberinya pelajaran. Selain itu, pelajaran pula bagimu untuk menerima ketidaksempurnaan
yang dihadiahkan Tuhan.”
Hening sesaat.
“Jawablah Han, apakah kau
mencintainya?”
“Ya.”
“Kau selalu memikirkannya, setiap
waktu, setiap kalian berpisah?”
“Ya.”
“Bagus! Mari kita habiskan makanan
yang mulai dingin ini dan pergi secepatnya!”
****
Pukul menunjukkan dua belas malam di
dasbor mobil. Sally menginjak gas dalam-dalam. Dia tahu, Hendro pasti sedang
menunggunya di rumah. Suaminya itu tidak bisa tidur kalau belum ada dirinya.
Sally senyum-senyum sendiri saat mengingat awal pernikahan mereka. Dimana
Hendro selalu punya alasan untuk dibawa saat dia mendapat tugas ke luar kota.
Suami yang posesif, gumamnya, membuang ludah menunggu antrian masuk ke tol.
“Halo cantik!” Sally mendengar suara dari
celah kaca yang dia buka barusan. “Apakah kau mencariku? Malam ini aku akan
memberimu separuh harga.”
Sally mual. Dia tidak menyangka dihampiri
gigolo. Dia menampik halus. “Suamiku menunggu di rumah. Aku harus menyimpan
tenaga untuknya.”
“Ok!” jawab gigolo. “Salam buat
suamimu,” Gigolo itu pergi dengan raut kecewa.
Sally teringat kembali, saat mendapat
tugas kantor di sebuah kota di ujung negeri beberapa tahun lalu. Di kota itu
syariat agama diberlakukan. Tidak mudah nampak gigolo di sana. Jangankan
gigolo, ketika siang, para pria diwajibkan memakai tudung. Bila mereka
melanggar, bersiaplah untuk ditangkap dan diadili. Hendro pada hari-hari
pertamanya di sana lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Dia enggan
mengikuti aturan semacam itu, terutama harus mengenakan tudung yang membuatnya
gerah.
“Kota bersyariat. Heh!”
****
Semaksimal mungkin Sally memasukkan
mobil ke garasi tanpa keriuhan. Begitu pula saat memutar kunci pada lubang
pintu rumahnya, halus dan sayup. Dilepasnya sepatu hak yang melekat di kaki
agar tidak terdengar ‘tik-tok’. Lalu pelan-pelan mengganti baju kerjanya dengan
daster yang biasa disiapkan Hendro di kamar mandi. Sebelum memasuki kamarnya,
dia menyempatkan mengunjungi bilik Rico dan Ana. Betapa bahagianya dia melihat
kedua anaknya itu tidur pulas, hingga tanpa sadar Hendro telah mendekapnya dari
belakang.
“Aku pikir kau sudah tidur,” kata
Sally, terkejut.
“Kau mau aku buatkan teh?”
“Boleh.”
Hendro melepas dekapannya dan segera
beringsut ke dapur. Sally mengejarnya sambil bercerita mengenai permasalahan yang
dihadapi Prisly. Hendro mafhum.
“Kau sendiri apakah akan menerimaku
kalau seandainya aku tidak perjaka?”
“Oh,
come on Hon! Aku tidak mau berandai-andai. Pikiranku sudah lelah,” jawab
Sally, diplomatis.
Hendro tersenyum, lalu meletakkan teh
itu di atas meja. “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Hendro kemudian.
“Hari ini aku banyak mual. Perutku
sepertinya bermasalah.”
“Apa perlu kita ke dokter?”
“Tidak perlu. Aku hanya masuk angin.”
“Tapi sudah baikkan, kan?”
“Tentu.”
“Baiklah.”
Akan tetapi barulah Sally hendak
menghirup teh buatan suaminya itu, mualnya datang lagi. Dia berlari menuju
kamar mandi. Hendro mengikutinya dari belakang, dan memijat-mijat tengkuk
Sally.
“Kenapa kau malah tersenyum?” tanya
Sally, membasuh mulutnya.
“Sepertinya kita perlu menyiapkan
anggaran baru Ma. Tuhan sepertinya telah menitipkan amanah-Nya satu lagi kepada
kita.”
“Apa?”
“Kau mengandung. Aku yakin kau
mengandung.”
Sally terenyuh. Dia tidak menyangka
hamil lagi. Perasaan, dia rutin menelan pil KB. Tapi kenapa bisa lolos.
Pikirannya mulai melayang ke mana-mana, membayangkan kerepotan yang bakal
dihadapinya ke depan tatkala perutnya mulai membesar. Dalam hati, kenapa pula
wanita yang hamil? Apa Tuhan tidak mengerti bahwa wanita pemimpin keluarga?
Kalau tahu begitu, pikir Sally, lebih baik menjadi laki-laki saja ketimbang
wanita.
--Selesai--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar